Klik Banner Di bawah Ini Jika Anda ingin Mendapatakan Penhasilan Tambahn Lewat internet

Photobucket payableptr.com Photobucket

Ikuti Kata Hati.....!!

Senin, 14 Juni 2010

Negara Ramah Buku?

Redaktur Beritajatim.com, Ainur Rahim menyatakan, lemahnya budaya baca di masyarakat tak lepas dari mahalnya harga buku dan kuatnya budaya oral atau verbal. Demikian kesimpulan pemaparan makalah dalam diskusi budaya dalam Pekan Bojonegoro Membaca, Jumat (30/4/2010) malam. Apa boleh buat. Ini angka yang pahit. UNDP menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia berada di rangking 96, yang disejajarkan dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Di Asia Tenggara, Indonesia hanya unggul atas Kamboja dan Laos.

Penelitian International Education Achievement (IAE) tahun 2000 menunjukkan, dalam hal minat baca, siswa sekolah dasar di Indonesia menduduki peringkat 38 dan siswa sekolah menengah pertama menduduki perinkat 34 dari 39 negara yang diteliti. Nilai tersebut diukur dari kemampuan membaca rata-rata.

Tahun 1998, Bank Dunia membuat laporan berjudul "Education in Indonesia - From Crisis to Recovery". Di sana disebutkan, anak-anak kelas enam sekolah dasar di Indonesia tertinggal jauh dalam hal kemampuan membaca dibandingkan Filipina, Thailand, Singapura, dan Hongkong.

Dra. Berlina Sjahudhym dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menunjukkan fakta pahit lainnya, sebagaimana dimuat Kompas, 5 Maret 1990: 81,58% responden mahasiswa UI mengaku kurang membaca karena malas.

Semua angka itu menjelaskan satu hal: betapa rendahnya minat dan kemampuan baca masyarakat Indonesia. Tak ada yang secara khusus mau bertanggungjawab terhadap fenomena ini. Namun, pemerintah mengakui, bahwa urusan minat dan kemampuan baca yang letoy berujung panjang ke mana-mana. Tahun 2001, sebagaimana dikutip dari Majalah Gatra, Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Makmuri Muchlas mengatakan, minat membaca juga berpengaruh terhadap daya saing tenaga kerja Indonesia yang menduduki urutan ke-46 di dunia, di bawah Singapura (2), Malaysia (27), Filipina (32) dan Thailand (34).

Dari mana kita mengurai benang kusut ini? Ada banyak faktor yang tentunya bisa dituding. Namun, tak ada faktor yang bisa berdiri sendiri. Dari sisi sosiologis, sebenarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengalami gegar budaya, terkaget-kaget dengan perubahan zaman tanpa mampu mengantisipasi dan mengikutinya.

Masyarakat Indonesia tumbuh dalam kultur agraris, yang menempatkan budaya oral, getok tular, dalam menyampaikan pengetahuan. Pengetahuan dibentuk oleh seorang agen yang dianggap bijak dan berpengetahuan luas, seperti tokoh masyarakat, pemimpin desa, tokoh agama. Pengetahuan ini disampaikan dari mulut ke mulut, melalui cerita, kisah-kisah, dan membentuk mitos. Dunia pada akhirnya digambarkan atau direkonstruksi melalui mitos yang dibangun itu, misalkan jangan menebang pohon besar karena ada penunggunya, atau bencana timbul karena ada dewa yang marah.

Indonesia modern adalah Indonesia yang semakin terindustrialisasi. Sawah-sawah digusur dijadikan kompleks perumahan atau pabrik. Desa-desa dimasuki listrik dan televisi. Gaya hidup baru sebagai masyarakat visual yang serba instan, masyarakat yang suka nonton dan terpengaruh oleh apa yang ditonton, mulai terbangun namun belum sepenuhnya selesai. Sementara gaya hidup lama, budaya ngobrol, tak sepenuhnya ditinggalkan dan tergantikan.

Jadi tak heran, kalau infotainment alias gosip di televisi menjadi acara yang cukup diminati. Untuk acara yang lebih serius, bincang-bincang berita alias talkshow sebagaimana di TV One, lebih diminati ketimbang format berita konvensional. Acara bincang-bincang ini biasanya membahas topik serius dengan mendatangkan narasumber yang berkompeten, seperti anggota DPR, akademisi, tokoh LSM, pejabat pemerintah. Peran tokoh masyarakat, pemimpin desa, dan tokoh agama lokal sebagai agen pembentuk dan penyampai pengetahuan tergantikan oleh mereka.

Di mana posisi buku, koran, dan bahan bacaan lainnya sebagai salah satu perekonstruksi pengetahuan? Di Indonesia, satu surat kabar dibaca 45 orang. Idealnya, satu eksemplar surat kabar dibaca sepuluh orang. Namun dibandingkan Filipina (satu surat kabar dibaca 30 orang) dan Srilangka (satu surat kabar dibaca 38 orang), masyarakat kita jelas 'tak terlalu bersahabat' dengan surat kabar.

Nasib buku juga tak kalah apes. Buku-buku soal isu-isu kontemporer yang menarik perhatian masyarakat seperti kasus Bank Century, Susno Duadji, korupsi, dan lain-lain memang banyak beredar. Buku-buku ini bukan sekadar kumpulan kliping, namun juga cukup analitis dan memberikan pengetahuan komprehensif kepada masyarakat tentang sebuah kasus atau kejadian. Namun, dari belanja buku masyarakat, kita tahu bagaimana posisi buku hari-hari ini. Hasil Suvei Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) tahun 1999 menyebutkan: dalam setahun belanja masyarakat untuk buku dan suratkabar hanya sebesar Rp 1,9 trilyun. Angka ini berlipat-lipat di bawah belanja rokok (Rp 47 triliun).

Terdepaknya posisi bahan bacaan oleh bahan tontonan sebenarnya tak lepas dari beberapa hal. Bagi sebagian besar masyarakat kita, membaca adalah pekerjaan tak mudah. Saat kita membaca berarti kita berkenan memberikan ruang dan sedikit waktu bagi impuls otak kita untuk menerjemahkan, meresapi, dan memaknai apa yang dibaca sebelum berujung pada 'memahami'. Bandingkan dengan 'menonton' atau 'mendengar cerita orang' yang tak memerlukan 'rantai' sepanjang aktivitas membaca untuk sampai pada sebuah pemahaman. Dalam membaca, orang butuh untuk menganalisis dalam kadar tertentu.

Industri buku dan surat kabar juga tak terlalu menunjang. Oplah dan sirkulasi surat kabar tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Jika satu surat kabar dibaca 45 orang, berarti oplah seluruh surat kabar se-Indonesia, jika digabungkan, hanya sekitar 4,4 juta eksemplar. Itu pun distribusinya tak merata. Jawa menjadi 'pusat peperangan' industri media cetak, dengan munculnya koran-koran lokal. Namun di luar Jawa, tak semua wilayah terjangkau media bermutu.

Begitu juga buku. Setiap bulan, setiap tahun, selalu ada buku yang terbit. Namun, ada banyak hambatan orang membaca buku. Sebagaimana koran dan majalah, masalah distribusi jadi salah satu kendala. Tak semua kota memiliki toko buku, dan tak semua toko buku memiliki jaringan penerbit yang bagus. Masyarakat pulau Jawa masih lebih dimanja dengan ketersediaan buku yang memadai dibandingkan masyarakat di pulau lain.

Kendala terbesar tentu saja masalah ekonomi. Harga koran tak pernah bisa stabil, karena harus disesuaikan dengan harga kertas internasional. Kecenderungannya harga koran dan majalah selalu naik. Harga buku setali tiga uang. Selain ongkos kertas, pajak dan pembelian hak cipta untuk buku-buku luar negeri ikut mendongkrak harga jual buku.

Pemerintah juga tak terlalu membantu. Tahun 1966, subsidi kertas murah untuk penerbit buku dihapus. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), mulanya tahun 1950 penerbit yang menjadi anggota IKAPI 13 penerbit, dan pada akhir masa Orde Lama naik menjadi 600 lebih. Tahun 1973 yang tersisa hanya 100 penerbit buku. Hari-hari ini jumlah penerbit buku yang tergabung dalam IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) kembali menjadi 600 penerbit, dengan 2.500 judul buku yang diterbitkan setiap tahun.

Dengan jumlah warga miskin yang masih banyak dan masih kuatnya kultur oral ketimbang literal, semua hambatan itu memperlengkap lemahnya budaya baca di Indonesia. Bagi orang-orang berpunya, buku masih belum dipandang sebagai bagian dari investasi masa depan. Bagi orang miskin, buku adalah barang mewah.

Jadi, apa solusinya? Banyak yang berharap terhadap perpustakaan. Perpustakaan, terutama milik pemerintah daerah dan sekolah, hadir untuk menjadi alternatif toko buku. Di sana, masyarakat bisa menjadi anggota dan meminjam buku.

Tapi, sayang sekali, perpustakaan cenderung masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah. Tanpa bermaksud melakukan generlisasi, mari kita memandangkan mata ke Kabupaten Jember. Ini kabupaten terbesar ketiga di Jawa Timur, setelah Surabaya dan Malang. Kehidupan masyarakatnya lebih dinamis dibanding kabupaten lain, terutama dipicu oleh adanya perguruan tinggi negeri Universitas Jember.

Namun, di Jember, Perpusda tidak memiliki tenaga pustakawan profesional, sementara jumlah pengunjung selama 2000-2007 sudah mencapai 109.206 orang. Padahal, Perpustakaan Daerah bertugas membina perpustakaan-perpustakaan yang ada di Jember.

Di Perpustakaan Daerah Jember, pada tahun 2008, jumlah staf yang berstatus pegawai negeri sipil 9 orang dan staf berstatus tenaga sukarelawan 11 orang. Semua tenaga administrasi. Tidak ada satu pun yang layak secara fungsional menjadi pustakawan, dalam artian memiliki ijazah pendidikan pustakawan. Tenaga pustaka Perpustakaan Daerah hanya ditempa pengalaman bekerja selama belasan tahun.

Perpusda di Jember juga belum bisa melakukan modernisasi sistem pustaka. Belum ada pemasangan barcode yang memungkinkan pemantauan buku yang hilang. Selama ini, buku yang hilang dan rusak kurang lebih lima persen.

Di Jember, status Perpustakaan Daerah masih UPT (unit pelaksana teknis) di bawah Dinas Pendidikan. Padahal, semakin maju negara, perpustakaan semakin dibutuhkan. Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2007, perpustakaan wajib minimal berstatus kantor. Peningkatan status ini tentu akan berdampak pada anggaran perpustakaan, terutama untuk pengadaan buku. Semakin lengkap perpustakaan, semakin menarik minat masyarakat untuk datang.

Repotnya, di Indonesia perpustakaan identik dengan meminta sumbangan dan hanya berdasarkan budget atau proyek dalam pengadaan buku-buku terbaru. "Kami dari perusahaan penerbit tidak pernah menemukan ada permintaan dari perpustakaan untuk membeli sejumlah buku baru yang dikeluarkan penerbit," kata Ketua Kompartemen Promosi dan Pameran Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Arianto, sebagaimana dikutip kapanlagi.com.

Beruntunglah, dalam masyarakat sekarang ada semacam gerakan sosial literasi. Ada banyak filantropis perorangan yang bersedia dengan uang sendiri mendirikan perpustakaan untuk didatangi masyarakat sekitar. Mereka menerima sumbangan buku-buku dari berbagai kalangan.

Di mana peran pemerintah? Mungkin perlu didengar apa yang dikatakan Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dhama Madjid pada tahun 2008.� Menurutnya, kebijakan menyediakan buku murah bagi pelajar di Indonesia bisa saja tercapai asalkan pemerintah bersinergi dengan kalangan penerbit, salah satunya lewat subsidi pajak kertas. Subsidi kerras penting karena 60 persen biaya buku tergantung pada kertas.

Pemerintah daerah sudah saatnya memberikan perhatian lebih kepada perpustakaan daerah. Jangan biarkan gerakan sosial literasi para filantropis itu berkembang sendiri. Mereka mungkin tak butuh bantuan pemerintah, namun dengan upaya pemerintah memperhatikan lebih serius pengelolaan perpustakaan daerah, cita-cita untuk menjadikan 'buku sebagai hak untuk semua' akan tercapai
read more...

Minggu, 13 Juni 2010

Promosi Sepatu Boot Supermodel Berpose Bugil

Supermodel Senior, Eva Haerzigova, Helena Christensen dan Claudia Schiffer telah membuktikan bahwa usia bukanlah suatu hal yang menjadi penghalang untuk bisa tampil seksi dan mempesona.

Para supermodel yang sudah berusia diatas 39 tahun ini, berpose seksi di majalah i-d untuk promosi sepatu boot milik Yves Saint Laurent, Louis Vuitton, Gucci. Para model berpose tanpa mengenakan pakaian dan hanya menggunakan sepatu boot kulit yang tingginya sepaha. Sambil mengedipkan mata yang menggoda untuk menambah kesan menggoda.

"Ini adalah hasil perpaduan karisma tiga ratu dari sekolah model kuno. Pemotretan ini diambil oleh fotografer Kayt Jones, sehingga menghasilkan foto yang seksi."ungkap Claudia,seperti yang dikutip pada news of the world(23/11/09).

Claudia yang berusia 39 tahun mengatakan seorang fotografer handal tidak akan berhenti memotret anda hanya karena batasan usia. Ini mengenai ekspresi dan aura karisma yang anda miliki.

Supermodel yang berasal dari 1 Managemen Model ini juga berpose individu dengan gaya kontemporer, termasuk foto Claudia yang memegang sebuah tas tangan sambil melindungi bagian tubuh vitalnya.

"Mereka memiliki keindahan universal sehingga mereka dapat memakai busana fashion berkelas, perhiasan berkelas dan barang-barang yang lebih komersial ataupun mereka berpose tanapa busana."ungkap Kayt Jones.

Walaupun usia ketiga model tersebut sudah tidak muda lagi,tapi pose seksi mereka itu tergolong masih cukup panas untuk membuat banyak kaum adam terpesona
read more...

Sabtu, 12 Juni 2010

Bokep' Kendra Wilkinson Siap Rilis


Bukan Kim Kardashian atau Paris Hilton yang menjadi perguncingan saat ini di internet tapi bintang reality show, Kendra Wilkinson, mantan salah satu pacar pendiri Playboy, Hugh Hefner.
Kendra menjadi sensasi baru via online, setelah klip dari rekaman seksnya muncul di dunia maya.
Wilkinson, yang pernah menjadi bintang reality show, �€Å“The Girls Next Door�€™ dikabarkan akan berjuang agar klip ini ditarik ulang dari peredaran.
Tapi laman hiburan RadarOnline mengklaim, Wilkinson sudah dibayar sebesar 600 ribu pound untuk film tersebut dan akan menerima 50% dari keuntungan penjualan film itu.
Steven Hirsch, pendiri Vivid, dan co chairman produsen film bokep terkenal dari Amerika Serikat mengatakan, �€Å“Kendra memiliki penggemar yang begitu banyak dan kami sudah menerima permintaan agar film ini segera dirilis lebih cepat dibandingkan jadwal yang kami tentukan,�€
Seperti dilansir dari The Sun, Wilkinson, yang kini berusia 24 tahun, telah menikah dengan bintang American Football, Philadelphia Eagles, Hank Baskett, Juni tahun lalu di Mansion Playboy
read more...

Jumat, 11 Juni 2010

Ini Dia Teknik Ciuman Paling Diminati


Secara harfiah, berciuman memberi makna saling menyentuh bibir untuk mengungkapkan rasa sayang. Namun, ciuman ternyata banyak macamnya, tergantung bagaimana cara Anda melakukannya.

Sebuah ciuman bisa memberi kesan sayang, liar, bahkan mengintimidasi. Ciuman juga bisa dilakukan di bagian mana pun dari tubuh Anda dalam durasi sedetik sampai beberapa menit.

Namun, ciuman seperti apa sih yang disukai pria? Karena mereka sering melancarkan "wet kiss", apakah itu berarti mereka menyukainya? Mengapa mereka hanya memberikan kecupan ringan di kening Anda? Pada dasarnya, ada empat jenis ciuman yang paling mereka sukai.

1. Mengisap bibir. Ciuman jenis ini biasanya terjadi ketika Anda berdua tengah bermesraan dan si dia mengisap bibir atas atau bawah Anda. Pria sangat menyukai ciuman jenis ini karena dapat memprovokasi pasangannya untuk memberikan reaksi yang lebih "hot". Ciuman ini menjadi semacam ciuman resmi untuk mengawali sesi bercinta. Tak sekadar bercinta, tetapi juga segala posisi, gaya, dan petualangan lain yang akan Anda lakukan.

Lucunya, sebagian dari pria tidak suka kalau bibirnya diisap, lho. Mereka lebih suka melakukannya pada pasangan mereka. Alasannya? Coba tanya pasangan Anda.

2. Ciuman di tengah sesi bercinta. Maknanya, ya sesuai sebutannya. Sambil berhubungan seksual, si dia mencuri-curi untuk mencium Anda. Pria senang melancarkan ciuman ini karena selain makin menciptakan kenikmatan juga merupakan kombinasi dari aktivitas seksual paling klasik dan yang paling liar. Jika Anda mampu melakukannya dengan nyaman, saat itulah Anda berdua mampu menikmatinya.

3. Kecupan ringan. Ciuman ini tergolong yang paling sederhana dan tidak melibatkan perasaan seksual. Kecupan bisa dilakukan di bibir, kening, pipi, di mana pun Anda dan dia menginginkannya. Pria umumnya senang ketika mengecup kepala atau leher pasangannya karena saat itu tercium wangi sampo, losion, atau parfum yang tercampur sempurna dengan aroma tubuh Anda yang sebenarnya. Sebaliknya, pria akan suka dikecup di mana saja. Ya, sesederhana itu.

4. "French kiss". Saat melakukannya, si dia akan menyelipkan lidahnya ke dalam mulut Anda. Ciuman ini biasanya memang terjadi ketika suasana sudah benar-benar "panas". Pria menyukainya karena sama liarnya dengan hubungan seks itu sendiri. Ketika mata saling tertutup, kepala dimiringkan, tubuh saling mendekap, tangan menggenggam, itulah momen paling menyenangkan buatnya. Ada semacam artikulasi dan intuisi dalam ciuman yang menggairahkan sehingga tak ada kata-kata atau bahkan seks yang bisa mengikutinya
read more...

Rabu, 09 Juni 2010

Sejarah Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan itu adalah Westernisasi dan keristenisasi yakni untuk kepentingan barat dan Nasrani.
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak didorong oleh tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon  terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke 19 yang mengalami kemmunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda.

2.      Tujuan Penulisan
Untuk menambah pengetahuan mengenai pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai bekal dalam menjalani pendidikan. Agar dapat berperan aktif dalam memajukan pendidikan Islam.
BAB II
MATERI INTI



1.      Organisasi dan Pendidikan Islam
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak di dorong oleh tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke 19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah pertama diwujudkan dalam bentuk kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah kolonial waktu itu untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui media pendidikan, namun tidak banyak membawa hasil. Malahan berakibat sebaliknya makin menumbuhkan kesadaran tokoh-tokoh organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda. Dengan cara menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat dengan melalui pendidikan. Dengan sendirinya kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh perasaan nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan da era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Dan dengan demikian lahirlah perguruan-perguruan nasional, yang ditopang oleh usaha-usaha swasta (partikelir) menurut istilah waktu itu yang berkembang pesat sejak awal tahun 1900an.
Para pemimpin pergerakan Nasional sadar bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bersifat Nasional harus segera dimasukan dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah. Sekolah partikelir atas usaha para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu semula memiliki 2 corak, yaitu :
I.        Sesuai dengan Haluan Politik
-         Taman Siswa, yang pertama didirikan di Yogyakarta
-         Sekolah Serikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan Komunis.
-         Ksatrian Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setia Budi) di Bandung.
-         Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung.
II.     Sesuai dengan Tuntutan / Ajaran Agama (Islam)
-         Sekolah-sekolah Serikat Islam
-         Sekolah-sekolah Muhammadiyah
-         Sumatera Tawalib di Padang Panjang
-         Sekolah-sekolah Nahdhatul Ulama
-         Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI)
-         Sekolah-sekolah Al-Jami’atul Wasliyah
-         Sekolah-sekolah Al-Irsyad
-         Sekolah-sekolah Normal Islam

Organisasi-organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktivitas kependidikan Islam.
  1. Al-Jami’at Al-Khairiyah
Didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. anggota organisasi ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal-usul. Meskipun tujuan asalnya hanya mengenai pendidikan agama, tetapi usaha Jami’at Khair kemudian meluas sampai kepada mengurus penyiaran Islam, perpustakaan dan surat kabar. (26 Januari 1913).
  1. Al-Islah Wal Irsyad
Didirikan pada tahun 1914 dan pada tahun 1915 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian disusul oleh beberapa Sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu. Gerakan ini membawa kesadaran dan keinsyafan dalam kalangan alim ulama khususnya dan golongan Islam umumnya.
  1. Persyerikatan Ulama
Merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Badul Halim. Pada tahun 1924 persyerikatan ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 meluas keseluruh Indonesia. Organisasi ini tidak hanya bergerak di bidang pendidikan, tetapi juga bergerak di bidang sosial yaitu dengan dibukanya rumah anak yatim.
  1. Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 Nopember 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijah 1330H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo.
  1. Nahdhatul Ulama
Didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344H atau 23 Januari 1926 M di Surabaya. Pendirinya adalah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur. Latar belakang didirikannya organisasi ini semula adalah sebagai perluasan dari suatu Komite Hijaz yang dibangun dengan 2 tujuan :
-         Untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ketangan golongan pembaharuan.
-         Untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan
  1. Persatuan Islam
Persis didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di Bandung, oleh sekelompok orang yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus. Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, Persis mempunyai ciri tersendiri, dimana kegiatannya di titik beratkan pada pembentukan faham keIslaman.
Salah satu usaha Persis untuk mewujudkan cita-citanya, ialah mendirikan lembaga pendidikan, baik berupa sekolah, kursus, kelompok studi atau diskusi, pengajian dan pesantren. Sekitar tahun 1927, Persis telah mempunyai kelompok diskusi keagamaan yang diikuti oleh anak-anak muda yang telah menjalani masa studinya di sekolah-sekolah menengah pemerintah dan yang ingin memperlajari Islam secara sunguh-sungguh.

2.      Pendidikan Islam Sebelum Penjajahan Eropa
Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Didikan dan ajaran Islam diberikan dengan perbuatan, contoh dan keteladanan. Pendidikan dan pengajaran Islam secara Informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik, karena dengan berangsur-angsur tersebarlah agama Islam keseluruh kepulauan Indonesia. Mulai dari Sabang sampai Maluku.
Karena dengan cepatnya Islam tersebar diseluruh Indonesia, maka banyaklah didirikan tempat-tempat ibadah seperti Mesjid, Langgar atau Surau, yang mana tempat-tempat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi juga sebagai tempat pendidikan yang sangat sederhana. Modal pokok yang mereka miliki hanya semangat menyiarkan agama dan semangat menuntut ilmu bagi yang belum memilikinya.
Tempat-tempat pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya system pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah yang berdasar keagamaan.
Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan Islam menurut rencana yang teratur sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1476 dengan berdirinya Bayangkara Islah di Bintara Demak yang ternyata merupakan organisasi pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Dalam rencana kerja dari Bayangkara Islah disebutkan bahwa supaya mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat maka didikan dan ajaran Islam harus dibeikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat itu asal tidak menyalahi hokum syara.
Untuk merealisasikan rencana ini, maka pada suatu Sidang Dewan Walisongo dan Kerajaan Demak, memutuskan bahwa semua cabang kebudayaan Nasional yakni filsafat hidup, kesenian, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya sedapat mungkin diisi dengan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran agama Islam. Kebijaksanaan Wali-wali menyiarkan agama dan memasukan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangatlah memuaskan, sehingga agama Islam tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.

3.      Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan
Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan, mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari barat. Apa yang mereka sebut pembaruan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani, dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajah Barat di Indonesia selama ± 3,5 abad.
Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu Badan Khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan Pendidikan Islam yang disebut Pries Terraden. Atas nasihat dari Badan inilah maka pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (pengajian) harus minta izin terlebih dahulu. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kemungkinan kebangkitan pribumi.
Pada tahun 1925 pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (Kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh.
Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktivitas Madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan Islam akan menjadi lumpuh. Akan tetapi yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung.
Jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama bersikap non cooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang kepada hadits Nabi Muhammad SAW, yang artinya “Barangsiapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut.” (Riwayat Abu Dawud dan Imam Hiban). Mereka tetap berpegang pada ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang Yahudi dan Nasrani engkau angkat sebagai pemimpinmu.”

4.      Pendidikan Islam di Zaman Kemerdekaan
Pendidikan agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan Agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah.
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua Menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa Pendidikan Agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = SD) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia belum mantap sehingga SKB dua Menteri tersebut belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah diluar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan Agama mulai dari kelas 1 SR.
Pemerintah membentuk majelis pertimbangan pengajaran agama islam pada tahun 1947, yang di pimpin oleh Kihajar Dewantara dari Departemen      P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya untuk mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran agama yang diberikan sekolah umum.
Pada tahun 1950 kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan Agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya Panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr.Hadi dari Departemen P dan K, untuk menyempurnakan kurikulumnya maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Berdasarkan tekad dan semangat tersebut maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam siding-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973 – 1978 dan 1983 yang menegaskan bahwa pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah Negeri dalam semua tingkat (Jenjang) pendidikan
BAB III
KESIMPULAN
Secara garis besarnya sejarah pendidikan Islam di Indonesia terbagi dalam beberapa masa :
1.      Pendidikan Islam di masa penjajahan. Pada masa ini Pendidikan Islam mendapatkan tekanan yang cukup berat dari pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kemungkinan kebangkitan pribumi. Walaupun mendapatkan tekanan yang cukup berat dari pemerintah kolonial Belanda, masyarakat Islam di Indonesia pada masa itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung. Para ulama bersikap non cooperative dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda.
2.      Pendidikan Islam di masa kemerdekaan
Pada tahun 1950 kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia. Maka rencana Pendidikan Agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh    Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K. Untuk menyempurnakan kurikulumnya maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Berdasarkan tekad dan semangat tersebut maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Hal ini terbukti dengan disahkannya Pendidikan Agama Menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat pendidikan.


read more...

Selasa, 08 Juni 2010

Tarian Buyung Pada Seren Taun

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Judul
Tari Buyung pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.
B.           Bidang Ilmu : Murni

C.           Latar Belakang
         Seni Tari merupakan bagian dari bentuk seni dan seni merupakan bagian dari kebudayaan lainnya. Seni tari tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan lainnya, karena di dalam seni tari terdapat unsur seni lainnya yang menunjang pada keberadaan seni tari. Seni tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia. Gerak merupakan bagian yang paling dominan sebagai ungkapan ekspresi jiwa seseorang dalam mengungkapkan perasaan bahagia, sedih, gembira, marah dan lain sebagainya.
         Gerak merupakan gejala yang paling primer dan merupakan media yang paling primer dan merupakan media yang paling tua dari manusia untuk menyatakan keinginannya atau merupakan bentuk refleksi spontan dari bathin manusia.
         Walaupun substansi dasar tari adalah gerak, namun gerak tersebut bukanlah gerak keseharian yang realistis melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif, gerak yang telah distilir dan gerak yang telah memiliki nilai-nilai estetika, sebagaimana dikatakan Susane K. Langger (1988) “Bentuk ekspresif adalah bentuk yang diungkapkan manusia untuk dinikmati dengan rasa”. Dalam hal ini, arti gerak tersebut adalah suatu gerakan yang indah yang mampu menggetarkan perasaan manusia, gerak indah tersebut adalah gerak yang sudah distilir yang didalamnya mengandung ritme-ritme tertentu. Ungkapan tersebut ditunjang oleh pendapat Soedarsono (1972) yang menjelaskan bahwa “Tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak yang ritmis dan indah.
         Menari adalah dorongan jiwa manusia sejak anak-anak dalam mengekspresikan diri manakala mendengar atau merasakan suatu irama tertentu baik yang datang dari dalam maupun dari luar dirinya. Namun naluri ilmiah ini kurang mendapat perhatian bagi sebagian besar manusia. Kondisi berkesenian di masyarakat dewasa ini lebih mengarah pada kesenian yang datang dari barat. Hal ini mengakibatkan masyarakat banyak yang melupakan atau menjauhkan diri dari kesenian tradisional yang merupakan kekayaan daerah.
         Jika hal tersebut dibiarkan terus berlanjut, dikhawatirkan akan memudarkan jati diri bangsa, sementara di ain pihak pemerintah berusaha membangun manusia indonesia seutuhnya yang berarti suatu usaha memupuk kesadaran diri sebagai manusia serta kesadaran pribadi selaku suatu bangsa yakni bangsa Indonesia.
         Untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh budaya luar yang sejatinya negatif selayaknya kita senantiasa berusaha menanamkan nilai-nilai budaya sendiri kepada generasi penerus dan berusaha menggali serta melestarikan sekaligus mengembangkan.
         Seperti yang dikemukakan oleh Drs. Suwandono (1979), bahwa tari tradisi perlu mendapatkan pembinaan secara sungguh-sungguh, mantap dan terarah untuk kemudian dikembangkan materinya selaras dengan alam pikiran dan pandangan hidup masyarakat indonesia.
         Penulis sadari bahwa Indonesia sangat terbuka dengan pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia serta dapat menggeser seni tradisional, untuk melestarikan seni ini perlu kewaspadaan dalam memilih dan menyeleksi kesenian yang sesuai dengan jati diri bangsa indonesia.
         Kuningan merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki banyak kesenian salah satunya Tari buyung. Tari ini hidup dan tumbuh di desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan yang keberadaannya bersifat lokal dan diketahui oleh sebatas daerah-daerah tertentu yang berdekatan dengan wilayah desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.
         Tari Buyung merupakan kesenian turun temurun dengan latar belakang diangkat dari kebiasaan yaitu perilaku tempo dulu wanita-wanita di desa yang sering dipergunakan oleh sebagian masyarakat wanita di desa Cigugur kalau mengambil air ke pancuran sambil membawa buyung.
         Buyung adalah sejenis alat yang terbuat dari logam maupun tanah liat untuk mengambil air di sungai, danau atau kolam.
         Gerakan tari buyung dimodifikasi dari gerakan dinamis dan tari  Sekar Putri dengan memakai buyung. Gerakan Tari buyung diantaranya tidak menghilangkan gerak ngojay, nyeuseuh, sareng keramas (renang, mencuci dan keramas).
         Kebiasaan mengambil air dengan buyung sudah lama berakar dan menyatu dengan kontek perilaku masyarakatnya yang suka tolong menolong, hidup bergotong royong tanpa memandang latar belakang status sosial maupun kepercayaan mereka, itulah ciri khas desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.
         Masyarakat desa Cigugur pada umumnya masih bermata pencaharian petani dan juga merupakan masyarakat Sunda yang religius dimana masih dipegang teguh pada tata cara para leluhurnya. Untuk mengungkapkan rasa syukur yaitu dengan mengadakan upacara yang disebut Seren Taun yang merupakan gelar budaya tradisional masyarakat agraris sunda yang masih ada dan biasa dilaksanakan di desa Cigugur. Tradisi ini dilaksanakan satu tahun satu kali sebagai manifestasi luapan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
         Dari situlah Seren taun dijadikan sebagai suatu istilah, Seren berarti menyerahkan dan Taun adalah tahun yang terdiri dari dua belas bulan. Secara definitif Upacara Seren Taun dapat diartikan “Upacara penyerahan hasil panen yang diterima tahun yang lalu serta memohon berkah dan perlindungan-Nya untuk tahun yang akan datang”, dan tidak pernah ketinggalan yaitu digelar Tari Buyung yang dibawakan mojang-mojang sebagai acara pembuka pada puncak perayaan Seren Taun. Kesenian dan budaya khas daerah Cigugur ini mempunyai tiga tarian yaitu tari buyung pada acara seren taun, tari buncis pada perayaan hari-hari besar, tari rudat dipentaskan pada hari-hari besar keagamaan.
         Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kesenian Tari Buyung dipentaskan  pada acara Seren Taun di desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan. Adapun penelitian ini berjudul :
“Tari Buyung Pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.”

D.          Identifikasi Masalah
         Agar jangkauan penelitian ini tidak terlalu luas dan sasarannya jelas serta memudahkan dalam pembahasannya, maka identifikasi masalah dirumuskan kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1.      Bagaimana latar belakang Tari Buyung pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan ?
2.      Apa fungsi Tari Buyung pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan ?
3.      Bagaimana struktur penyajian Tari Buyung pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan ?

E.           Tujuan dan Manfaat Penelitian
a.       Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui bagaimana latar belakang Tari Buyung pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan
2.      Untuk mendeskripsikan dan menganalisis fungsi Tari Buyung pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan
3.      Mendeskripsikan struktur penyajian kesenian  Tari Buyung pada Upacara Seren Taun di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan

b.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat terutama :
1.      Bagi Penulis
Sebagai pengalaman empiris dan merupakan salah satu upaya untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang kesenian tradisional khususnya tari buyung di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan

2.      Bagi Masyarakat
Untuk ikut serta melestarikan memelihara kesenian Tari Buyung sehingga dapat menjaga dan mempertahankannya sebagai warisan dari leluhurnya.

3.      Bagi Lembaga
Pemerintah setempat dapat lebih peduli tentang keberadaan kesenian Tari Buyung sebagai aset daerah bagi pertumbuhan otonomi daerahnya.

F.            Batasan Istilah
         Agar tidak terjadi salah penafsiran dan untuk memperjelas istilah judul penelitian maka penulis membatasi mengenai pengertian istilah-istilah tersebut.
1.      Tari
:
Ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan melalui gerak yang ritmis dan indah (Soedarsono)
2.      Buyung
:
Sejenis alat yang terbuat dari logam maupun tanah liat yang sering dipergunakan oleh sebagian masyarakat wanita desa di zaman dahulu untuk mengambil air di sungai, danau atau kolam.
3.      Seren
:
Menyerahkan
4.      Taun
:
Tahun yang terdiri dari dua belas bulan
5.      Upacara
:
Rangkaian kegiatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu (menurut adat dan sebagainya).

G.          Populasi
         Populasi yang diambil oleh peneliti adalah kesenian Tari Buyung di desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.
* Group Lingkung Seni Purwa Wirahma
Sedangkan sampel penelitiannya adalah tari buyung Ibu Emalia Djatikusumah dengan pertimbangan dan alasan sebagai berikut :
1.      Tari Buyung pimpinan Ibu Emilia Djatikusumah merupakan kesenian turun-temurun
2.      Kesenian Tari Buyung merupakan kesenian yang masih memegang ketradisionalannya.

H.          Asumsi
         Sehubungan dengan masalah yang diteliti, maka penulis mempunyai asumsi sebagai berikut :
Bahwa kesenian Tari Buyung terkait dengan keyakinan bahwa Tuhan sebagai kausaprima dari segala asal usul sumber hidup dan kehidupan, alam penuh dengan energi, alam bereaksi dengan tingkah laku manusia, dan ikut mengubah karakter manusia.

I.             Metode Penelitian
         Berdasarkan permasalahan diatas, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu menjelaskan dan mengamalkan kesenian tari buyung yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti, sedangkan teknik pengumpulan data yang penulis lakukan melalui observasi, wawancara, studi pustaka dan studi dokumentasi.

a.       Observasi
Observasi dalam penelitian ini merupakan bagian terpenting untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dan bertujuan untuk mengadakan pengamatan secara objektif tentang beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang, fungsi, struktur penyajian kesenian tari buyung pimpinan ibu Emilia Djatikusumah yang berdomisili di desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.

b.      Wawancara
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara kepada dua narasumber diantaranya Bapak Djatikusumah ahli waris bidang seni budaya, sastra sunda, dan Ibu Emilia Djatikusumah sebagai istrinya juga sebagai seorang koreografer, dengan harapan memperoleh data-data dan fakta yang berhubungan dengan penelitian.

J.            Tinjauan Pustaka
         Walaupun substansi dasar tari adalag gerak, namun gerak tersebut bukanlah gerak keseharian melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif, gerak yang telah distilir dan gerak yang telah memiliki nilai-nilai estetis.
         Sebagaimana dikatakan Susane K. Langger (1988)
“Bentuk ekspresif adalah bentuk yang diungkapkan manusia untuk dinikmati dengan rasa.”
         Dalam hal ini, arti gerak tersebut adalah suatu gerakan yang indah yang mampu menggetarkan perasaan manusia, gerak indah tersebut adalah gerak yang sudah distilir yang didalamnya mengandung ritme-ritme tertentu. Ungkapan tersebut ditunjang oleh pendapat Soedarsono (1972) yang menjelaskan bahwa :
“Tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak yang ritmis dan indah.”
         Untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh budaya luar yang sejatinya negatif selayaknya kita senantiasa berusaha menanamkan nilai-nilai budaya sendiri kepada generasi penerus dan berusaha menggali serta melestarikan sekaligus mengembangkannya.
         Seperti yang dikemukakan oleh Drs. Suswandono (1979)
“Bahwa tari tradisi perlu mendapatkan pembinaan secara sungguh-sungguh, mantap dan terarah untuk kemudian dikembangkan mutunya selaras dengan alam pikiran dan pandangan hidup masyarakat bangsa Indonesia.
         Tari Buyung merupakan tari yang digelar pada puncak perayaan Seren Taun sebagai acara pembuka yang masih eksis hingga sekarang. Kesenian ini berfungsi sebagai sarana tari upacara, hiburan, pertunjukan dan sebagai keturunan yang dilakukan untuk menyampaikan rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.


K.          Lokasi dan Sampel Penelitian
a.       Lokasi
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengambil lokasi di Kabupaten Kuningan dengan fokus penelitian di desa Cigugur kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan dengan pertimbangan bahwa kesenian tersebut bersifat lokal dan diketahui sebatas oleh daerah-daerah tertentu.

b.      Sampel
Sampel yang digunakan adalah group / lingkung Seni Purwa Wirahma pimpinan Ibu Emilia Djatikusumah yang berada di desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.

L.           Sistematika Penulisan
JUDUL SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI

BAB I        PENDAHULUAN
A.     Judul
B.     Bidang ilmu
C.     Latar Belakang Masalah
D.     Identifikasi Masalah
E.      Tujuan dan Manfaat Penelitian
F.      Batasan Istilah
G.     Populasi dan Sampel
H.     Asumsi
I.        Metode Penelitian
J.       Tinjauan Pustaka
K.    Lokasi dan Sampel Penelitian
L.      Sistematika Penulisan











  
DAFTAR PUSTAKA

1.      Sugiyono, Pr. Dr. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung. Alfabeta.
2.      Soeteja, Zakaria S. (2003). Ritme Jurnal Seni dan Pengajarannya Volume 2 No. 1.
3.      Santoso Ananda & Al Hanif A.R. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya. Alumni.
4.      Dwi Wedhaswary Inggried. (2008). Laporan Wartawan Kompas.com. Sultan Hadiri Upacara Seren Taun di Cigugur. Internet.
5.      Arsip Daerah. (1999). Seren Taun Syukuran Masyarakat Agraris Sunda.


read more...

Senin, 07 Juni 2010

Adverbia

5.3.3 Fungsi Adverbial atau Keterangan
Adjektiva yang mewatasi verba (atau adjektiva) yang menjadi predikat klausa dikatakan dipakai secara adverbial atau sebagai keterangan. Hal itu juga terjadi jika frasa adjektival menjadi keterangan seluruh kalimat. Pola struktur adverbial itu dua macam : (1) ... (dengan) + (se-) + adjektiva + (-nya) yang dapat disertai reduplikasi dan (2) perulangan adjektiva.

5.4  PERTARAFAN ADJEKTIVA
Adjektiva bertaraf dapat menunjukkan berbagai tingkat kualitas atauintensitas adan berbagai tingkat bandingan. Pembedaan tingkat kualitas atau intensitas dinyatakan dengan pewatas seperti benar, sangat, terlalu, agak dan makin. Pembedaan tingkat bandingan dinyatakan dengan pewatas seperti lebih, kurang dan paling.

5.4.1 Tingkat Kualitas
Berbagai tingkat kualitas secara relatif menunjukan tingkat intensitas yang lebih tinggi atau lebih rendah. Ada enam tingkat kualitas atau intensitas. (1) positif, (2) intensif, (3) elatif, (4) eksesif, (5) augmentatif, dan (6) atenuatif.

5.4.1.1 Tingkat Positif
Tingkat positif, yang memberikan kualitas atau intensitas maujud yang diterangkan, dinyatakan oleh adjektiva tanpa pewatas.

5.4.1.2 Tingkat Intensif
Tingkat Intensif, yang menekankan kadar kualitas atau intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas benar, betul atau sungguh.

5.4.1.3 Tingkat Elatif
Tingkat Elatif, yang menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas yang tinggi, dinyatakan dengan memakai pewatas amat, sangat, atau sekali. Untuk memberikan tekanan yang lebih dan pada tingkat elatif, orang kadang-kadang menggunakan juga kombinasi dari pewatas itu : amat sangat... atau (amat) sangat... sekali.

5.4.1.4 Tingkat Eksesif
Tingkat Eksesif, yang mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang berlebih, atau yang melampaui batas kewajaran, dinyatakan dengan memakai pewatas terlalu, terlampau, dan kelewat.

5.4.1.5 Tingkat Augmentatif
Tingkat Augmentatif, yang menggambarkan naiknya atau bertambahnya tingkat kualitas atau intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas makin... makin.., atau semakin.....

5.4.1.6 Tingkat Autenuatif
Tingkat Autenuatif, yang memberikan penurunan kadar kualitas atau pelemahan intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas agak atau sedikit.

5.4.2 Tingkat Bandingan
Pada pembandingan dua maujud atau lebih dapat disimpulkan bahwa tingkat kualitas atau intensitas dapat setara atau tidak setara. Tingkat yang setara disebut tingkat ekuatif; tingkat yang tak setara dibagi dua: tingkat komparatif dan tingkat superlatif. Tiap-tiap tingkat itu secara sintaktis diungkapkan dengan bentuk yang khusus.

5.4.2.1 Tingkat Ekuatif
Tingkat Ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang sama atau hampir sama. Peranti bahasa yang digunakan ialah bentuk klikik se- yang ditempatkan di depan adjektiva.

5.4.2.2 Tingkat Komparatif
Tingkat Komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih atau yang kurang. Pewatas yang dipakai ialah lebih...dari (pada)...., kurang.... dari- (pada), dan kalah... dengan/dari(pada). Dewasa ini dalam struktur komparatif pemakaian kata dari pada bersaing dengan kata dari.


5.4.2.2.1 Penominalan Adjektiva Komparatif
Adjektiva komparatif dapat dinominalkan subjek kalimat dengan penambahan yang sebelumnya dan diikuti frasa nominal yang dibandingkan.

5.4.2.2.2 Kebermarkahan Adjektiva Komparatif
Di dalam pemakaian tingkat komparatif hendaknya diperhatikan pasangan antonim seperti besar : kecil, panas : dingin, berat : ringan, dan mahal : murah. Pasangan itu bertalian dengan konsep pemarkahan. Pengertian tantang markah bertalian dengan cara pandang manusia tentang alam sekitarnya. Dalam kaitannya dengan bahasa, khususnya kelas adjektiva, orang biasanya memakai bentuk yang dianggapnya netral, atau yang disenangi. Termasuk didalamnya adjektiva besar, cantik, dan tinggi. Kata seperti itulah yang disebut tak bermarkah. Lawan katanya, yakni kecil, jelek, dan rendah adalah adjektiva yang bermarkah. Sehubungan dengan bentuk tingkat komparaif, adjektiva yang bermarkah lebih sempit jangkauannya daripada yang netral.

5.4.2.3 Tingkat Superlatif
Tingkat Superlatif mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang paling tinggi diantara semua acuan adjektiva yang dibandingkan. Tingkat itu dalam kalimat dinyatakan dengan pemakaian afiks ter- atau pewatas paling di muka adjektiva bersangkutan. Adjektiva superlatif dapat diikuti frasa yang berpreposisi dari, di antara, dari antara beserta nomina yang dibandingkan.

5.5 ADJEKTIVA DARI SEGI BENTUKNYA
Dari segi bentuknya, adjektiva terdiri atas (a) adjektiva dasar yang selalu monomorfemis dan (b) adjektiva turunan yang selalu polimorfemis.

5.5.1 Adjektiva Dasar (Monomorfemis)
Sebagian besar adjektiva dasar merupakan bentuk yang monomorfemis, meskipun ada yang berbentuk perulangan semu.


5.5.2 Adjektiva Turunan (Polimorfemis)
Adjektiva turunan polimorfemis dapat merupakan
(1)   hasil pengafiksan sebagaimana dapat dilihat pada 5.4.2.1 tentang tingkat ekuatif dengan prefiks se-, dan pada 5.4.2.3 tentang tingkat superlatif dengan prefiks ter-. Bentuk-bentuk itu tidak akan dibicarkan lagi di sini.
(2)   Hasil pengafiksan dengan infiks atau sisipan –em- pada nomina, adjektiva yang jumlahnya sangat terbatas.
(3)   Hasil penyerapan adjektiva berafiks dari bahasa lain seperti bahasa Arab, Belanda, dan Inggris. Berikut ini akan disinggung adjektiva yang berafiks –i, -iah, atau –wi, -wiah dan yang berafiks –if, -er, -al, -is.

5.5.2.1 Adjektiva Bersufiks –i, -iah atau –wi, -wiah
Adjektiva yang bersifiks –i, -iah atau –wi, -wiah memiliki dasar nomina yang berasal dari bahasa Arab. Selain itu, sufiks-sufiks tersebut kini juga sering diterapkan pada nomina serapan yang berasal dari bahasa lain.

5.5.2.2 Adjektiva Bersufiks –if, -er, -al, -is
Adjektiva yang bersufiks –if, -er, -al, -is setakat ini diserap dari bahasa Belanda atau bahasa Inggris di samping nomina yang bertalian makna.

5.5.2.3 Adjektiva Bentuk Berulang
Subkategori adjektiva yang berupa berulang dapat muncul jika berfungsi predikatif (5.3.2) atau berfungsi adverbial (5.3.3). predikat adjektival yang berbentuk ulang menandakan kejamakan, keanekaan, atau keintensifan. Perulangan itu terjadi melalui cara (1) perulangan penuh, (2) perulangan sebagian, dan (3) perulangan salin suara.

5.5.2.4 Adjektiva Gabungan Sinonim atau Antonim
Adjektiva yang mirip dengan bentuk berulang ialah yang merupakan hasil penggabungan sinonim atau antonim.


5.5.2.5 Adjektiva Majemuk
Adjektiva yang merupakan benttuk majemuk ada yang merupakan gabungan morfem terikat dengan morfem bebas dan ada yang merupakan gabungan dua morfem bebas (atau lebih).

5.5.2.5.1 Gabungan Morfem Terikat dan Bebas
Contoh adjektiva yang merupakan gabungan morfem terikat dan bebas :
Adikodrati                                Niraksara
Anasional                                 Nirgelar
Antarbangsa                             panteistis
Antarkota                                 Paranormal
Antiperang                                pascajual
Asusila                         pascalahir
Awahama                                 prokomunis
Diatonik                                   purnawaktu
Diapositif                                  semipermanen
Dursila                                      serbaguna
Esktrakurikuler             subtropis
Hiperkorek                               superberat
Inframerah                                supranasional
Inkonstitusional             swasembada
Interfakultas                              takorganik
Interlokal                                  taksosial
Internasional                             trans-Sumatera
Mahabesar                               transkontinental
Mahakuasa                               tunakarya
Mahamulia                                tunanetra
Mahasuci                                  ultrakanan
Mahatahu                                 ultramodern
multinasional

5.5.2.5.2 Gabungan Morfem Bebas
Contoh adjektiva yang merupakan gabungan morfem bebas :
Baik budi                                  busung lapar
Baik hati                                   buta huruf
Bebas bea                                buta politik
Bebas tugas                              cacat badan
Berat sebelah                            cacat mental
Besar kepala                            gagal total
Bulat telur                                 hampa tangan
Buruk laku                                hampa udara
Haus darah                               rabun ayam
Hina budi                                  sama rupa
Kedap suara                             sempit
Kurang tenaga                          pandangan
Layak layar                              setia kawan
Layak terbang                          tahan lapar
Lepas landas                            tahu adat
Lepas pantai                             tajam ingatan
Lintas budaya                           terang cuaca
Peka cahaya

5.6 ADJEKTIVA DAN KELAS KATA LAIN
Ada golongan adjektiva yang dihasilkan dari verba dan nomina lewat proses transposisi. Transposisi, yang mengubah kelas kata tanpa pengubahan bentuk, dianggap penurunan dengan afiksasi nol.

5.6.1 Adjektiva Deverbal
Ada sekelompok verba dalam bahasa Indonesia yang tanoa perubahan bentuk dapat berfungsi sebagai adjektiva. Verba-verba ini pada mulanya diturunkan dari kata dasar yang dibubuhi dengan afiks-afiks tertentu seperti (i) meng-, (ii) meng-kan, (iii) ter-, dan (iv) ber-.

5.6.2 Adjektiva denominal tidak terlalu banyak jumlahnya. Ada dua proses morfologis yag dapat dikemukakan di sini. Yang pertama ialah nomina yang berprefiks per(r)- atau peng- seperti pemalas dan yang kedua ialah nomina berkonfiks ke-an yang mengalami reduplikasi.

5.6.2.1 Adjektiva Bentuk pe(r)- atau peng-
Kelompok adjektiva ini berasal dari nomina yang mengancung makna ‘yang ber-..’atau ‘yang meng-....’

5.6.2.2 Adjektiva Bentuk ke-an dengan Reduplikasi
Adjektiva yang berpola ke-an dengan reduplikasi memerikan sifat ‘mirip dengan’ apa yang diungkapkan oleh nomina yang menjadi dasar bentuk itu. Proses penurunan ini adalah melalui pembentukan nomina abstrak dengan konfiks ke-an yang kemudian direduplikasi secara parsial.

BAB VI
ADVERBIA

6.1  BATASAN DAN CIRI ADVERBIA
Dilihat dari tatarannya, perlu dibedakan adverbia dalam tataran frasa dari adverbia dalam tataran klausa. Dalam tataran frasa, adverbia adalah kata yang menjelaskan verba, adjektiva, atau adverbia lain. Pada contoh berikut terlihat bahwa adverbia sangat menjelaskan verba mencintai, adverbia selalu menjelaskan adjektiva sedih, dan adverbia hampir menjelaskan adverbia selalu.
(1) a. Ia sangat mencintai istrinya
      b. Ia selalu sedih mendengar lagu itu
      c. Kami hampir selalu dimarahinya setiap pagi.

6.2  ADVERBIA DARI SEGI BENTUKNYA
Adverbia tunggal dapat diperinci lagi menjadi adverbia yang berupa kata dasar, yang berupa kata berafiks, serta yang berupa kata ulang. Adverbia gabungan dapat pula diperinci  menjadi adverbia gabungan yang berdampingan dan yang tidak berdampingan.
6.2.1        Adverbia Tunggal
Seperti sudah disebutkan di atas, adverbia tunggal dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu adverbia yang berupa kata dasar dan adverbia yang berupa kata berafiks.
6.2.1.1  Adverbia yang Berupa Kata Dasar
Adverbia yang berupa kata dasar terdiri atas satu kata dasar. Karena jenis adverbia dasar tergolong ke dalam kelompok kata yang keanggotaannya tertutup, maka jumlah adverbia yang berupa dasar itu tidak banyak. Berikut ini adalah beberapa contohnya.
(6)
baru
hampir
segera
paling

hanya
saja
selalu
pasti

lebih
sangat
senantiasa
Tentu


6.2.1.2  Adverbia yang Berupa Kata Berafiks
Adverbia yang berupa kata berafiks diperoleh dengan menambahkan gabungan afiks se-nya atau afiks -nya pada kata dasar.
  1. Yang berupa penambahan gabungan afiks se-nya pada kata dasar:
(7)   a.     Sebaiknya kita segera membayarkan pajak itu
        b.     Sebenarnya kami meragukan kemampuannya
        c.     Saya minta mereka untuk masuk kantor secepatnya
        d.     Mereka sesungguhnya tidak bersalah
  1. Yang berupa penambahan -nya pada kata dasar:
(8)   a.     Agaknya gurauan itu membuatnya marah
        b.     Kalau sudah begitu, biasanya ia akan menangis
        c.     Kamu itu pintar juga rupanya
        d.     Rasanya saya sudah melaporkannya kemarin
6.2.1.3  Adverbia yang Berupa Kata Ulang
Menurut bentuknya, adverbia yang berupa kata ulang dapat diperinci lagi menjadi empat macam, yaitu (a) pengulangan kata dasar, (b) pengulangan kata dasar dan penambahan afiks se-, (c) pengulangan kata dasar dan penambahan sufiks -an, dan (d) pengulangan kata dasar dan penambahan gabungan afiks se-nya. Bentuk-bentuk adverbia yang berupa kata ulang tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut.
  1. Adverbia yang berupa pengulangan kata dasar:
(9)   a.     Kami duduk diam-diam mendengarkan ceramah
        b.     Lekas-lekas dia berdiri meninggalkan kami
  1. Adverbia yang berupa pengulangan kata dasar dengan penambahan prefiks se-:
(10) a.     Setinggi-tinggi bangau terbang, jatuhnya ke kubangan juga
        b.     Sepandai-pandai guru, ia tidak boleh meremehkan muridnya
  1. Adverbia yang berupa pengulangan kata dasar dengan penambahan sufiks -an:
(11) a.     Kami memarahinya habis-habisan kemarin
        b.     Ia berjuang mati-matian melawan pernyakit itu              
  1. Adverbia yang berupa pengulangan kata dasar dengan penambahan gabungan afiks se-nya:
(12) a.     Burung itu terbang setinggi-tingginya
        b.     Galilah lubang sedalam-dalamnya dua meter
6.2.2        Adverbia Gabungan
Adverbia gabungan terdiri atas duan adverbia yang berupa kata dasar. Kedua kata dasar yang merupakan adverbia gabungan itu ada yang berdampingan dan ada pula yang tidak berdampingan, seperti terlihat pada beberapa contoh berikut.
  1. Adverbia yang berdampingan:
(13) a.     Lagi pula rumahnya baru jadi minggu depan.
        b.     Hanya saja kita harus mempersiapkannya secara matang
        c,     Kami hampir selalu bersama-sama ke kantor
  1. Adverbia yang tidak berdampingan:
(14) a.     Kamu hanya membuang-buang waktu saja
        b.     Dia sangat sedih sekali mendengar berita itu.

6.3  ADVERBIA DARI SEGI PERILAKU SINTAKTISNYA
Perilaku sintaktis adverbia dapat dilihat berdasarkan posisinya terhadap kta atau bagian kalimat yang dijelaskan oleh adverbia yang bersangkutan. Atas dasar itu, dapat dibedakan empat macam posisi adverbia, yaitu (a) yang mendahului kata yang diterangkan, (b) yang mengikuti kata yang diterangkan, (c) yang mendahului atau yang mengikuti kata yang diterangkan, serta (d) yang mendahului dan mengikuti kata yang diterangkan. Beberapa contoh dari ke empat macam adverbia berdasarkan perilaku sintaktisnya itu adalah sebagai berikut.
1.      Adverbia yang mendahului kata yang diterangkan
2.      Adverbia yang mengikuti kata yang diterangkan
3.      Adverbia yang mendahului atau mengikuti kata yang diterangkan
4.      Adverbia yang mendahului dan mengikuti kata yang diterangkan

6.4  ADVERBIA DARI SEGI PERILAKU SEMANTISNYA
Berdasarkan perilaku semantisnya, dapat dibedakan delapan jenis adverbia, yaitu (1) adverbia kualitatif, (2) adverbia kuantitatif, (3) adverbia limitatif, (4) adverbia frekuentatif, (5) adverbia kewaktuan, (6) adverbia kecaraan, (7) adverbia kontrastif, (8) adverbia keniscayaan.



6.4.1        Adverbia Kualitatif
Adverbia kualitatif adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan tingkat, derajat, atau mutu. Yang termasuk adverbia ini adalah kata-kata seperti paling, sangat, lebih dan kurang.
6.4.2        Adverbia Kuantitatif
Adverbia kuantitatif menggambarkan makna yang berhubungan dengan jumlah. Yang termasuk adverbia ini, antara lain, kata banyak, sedikit, kira-kira, dan cukup.
6.4.3        Adverbia Limitatif
Adverbia limitatif adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan pembatasan. Kata-kata seperti hanya, saja, dan sekadar.
6.4.4        Adverbia Frekuentatif
Adverbia frekuentatif adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan tingkat kekerapan terjadinya sesuatu yang diterangkan adverbia itu. Kata yang tergolong adverbia ini, misalnya, selalu, sering, jarang, dan kadang-kadang.
6.4.5        Adverbia Kewaktuan
Adverbia kewaktuan adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu. Yang termasuk adverbia kewaktuan ialah bentuk seperti baru, dan segera.
6.4.6        Adverbia Kecaraan
Adverbia kecaraan adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan bagaiman peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu berlangsung atau terjadi. Yang termasuk adverbia  kecaraan ini adalah bentuk-bentuk seperti diam-diam, secepatnya dan pelan-pelan.
6.4.7        Adverbia Kontrastif
Adverbia kontrastif adalah adverbia yang menggambarkan pertentangan dengan makna kata atau hal yang dinyatakan sebelumnya. Yang termasuk dalam adverbia kontrastif adalah bentuk seperti bahkan, malahan, dan justru
6.4.8        Adverbia Keniscayaan
Adverbia keniscayaan adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan kepastian tentang keberlangsungan atau terjadinya hal atau peristiwa yang dijekaskan adverbia itu. Yang termasuk adverbia keniscayaan adalah bentuk seperti niscaya, pasti, dan tentu.

6.5  ADVERBIA KONJUNGTIF
Adverbia konjungtif adalah adverbia yang menghubungkan satu klausa atau kalimat dengan klausa atau kalimat lain. Posisinya dalam kalimat boleh dikatakan agak bebas. Akan tetapi, biasanya adverbia konjungtif digunakan pada awal kalimat. Berikut adalah beberapa contoh adverbia konjungtif.
a.        biarpun demikian/begitu
        sekalipun demikian/begitu
        walaupun demikian/begitu
        meskipun demikian/begitu
b.       kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya
c.        tambahan pula, lagi pula, selain itu
d.       sebaliknya
e.        sesungguhnya, bahwasanya
f.         malah(an), bahkan
g.       (akan) tetapi, namun
h.       kecuali itu
i.         dengan demikian
j.         oleh karena itu, oleh sebab itu
k.        sebelum itu
Anggota subkelompok (a) menyatakan pertentangan dengan dinyatakan pada kalimat sebelumnya. Subkelompok (b) menyatakan kelanjutan dari peristiwa atau keadaan yang dinyatakan pada kalimat sebelumnya. Subkelompok (c) menyatakan hal, peristiwa, atau keadaan disamping hal, peristiwa, atau keadaan yang telah disebutkan sebelumnya. Sebaliknya pada (d) mengacu ke kebalikan dari yang telah dinyatakan sebelumnya. Sesungguhnya dan bahwasanya pada (e) menyatakan bahwa yang digambarkan oleh predikasi kalimat adalah benar. Malah(an) dan bahkan pada (f) menyatakan penguatan pada peristiwa, hal, atau keadaan yang dinyatakan sebelumnya. Kecuali itu pada (h) menyatakan keeksklusifan dan keinklusifan. Dengan demikian pada (i) menyatakan konsekuensi. Oleh karena itu/sebab itu pada (j) menyatakan akibat. Sebelum itu pada (k) menyatakan kejadian yang mendahului peristiwa, hal, atau keadaan yang dinyatakan sebelumnya.
6.6  ADVERBIA PEMBUKA WACANA
Jika adverbia konjungtif menghubungkan dua kalimat dan mengawali suatu kalimat baru, adverbia pembuka wacana pada umumnya mengawali suatu wacana. Hubungannya dengan paragraf sebelumnya didasarkan pada makna yang terkandung pada paragraf sebelumnya itu.
Adverbia pembuka wacana pada kelompok (a) berikut ini masih sering dipakai, sedangkan yang ada pada kelompok (b) umumnya terdapat pada naskah sastra lama.
a. adapun
     akan hal
     mengenai
     dalam pada itu
b. alkisah
     arkian
     sebermula
     syahdan

6.7  ADVERBIA DAN KELAS KATA LAIN
Pada 6.2 telah disebutkan bahwa dilihat dari segi bentuknya, salah satu jenis adverbia adalah adverbia tunggal. Selain dasar yang berkategori adverbia (misalnya hampir menjadi hampir-hampir), bentuk dasar adverbia tunggal dapat pula berupa verba, adjektiva, nomina, dan numeralia. Berdasarkan kategori bentuk dasarnya itu, adverbia tunggal masing-masing disebut adverbia deverbal, adverbia deadjektival, adverbia denominal, dan adverbia denumeral.
6.7.1        Adverbia Deverbal
Adverbia deverbal dibentuk dari dasar yang berkategori verba. Dalam contoh berikut adverbia kira-kira, sekiranya, terlalu, dan tahu-tahu masing-masing diturunkan dari verba tiba, kira, lalu, dan tahu.
  1. Ia akan datang kira-kira pukul sepuluh
  2. Lupakan saja apa yang pernah saya usulkan sekiranya hal itu mengganggu.
  3. Terlalu dini untuk menerima lamarannya
  4. Tahu-tahu saya didatangi oleh petugas pajak
6.7.2        Adverbia Deadjektival
Adverbia deadjektival diturunkan dari adjektiva, baik melalui reduplikasi maupun afiksasi. Adverbia diam-diam, sebaiknya, sebenarnya, dan setinggi-tingginya masing-masing diturunkan dari dasar diam, baik, benar, dan tinggi yang berkategori adjektiva.


6.7.3        Adverbia Denominal
Adverbia denominal dibentuk dari dasar yang berkategori nomina. Adverbia rupanya, agaknya, dan malam-malam dalam contoh berikut, misalnya, diturunkan dari kata rupa, agak, naga, dan malam yang berkategori nomina.
  1. Tanpa diduga rupanya ia memojokkan kami
  2. Agaknya cara itulah yang tepat
  3. Mereka menggedor pintu malam-malam
6.7.4        Adverbia Denumeral
Seperti halnya nomina, numeralia juga dapat membentuk adverbia. Dalam contoh berikut ini, adverbia dua-dua, setengah-setengah, dan sedikit-sedikit, masing-masing diturunkan dari numeralia dua, setengah, dan sedikit.
  1. Masukkan bungkusan itu dua-dua
  2. Kalau bekerja jangan setengah-setengah
  3. Sedikit-sedikit mereka mengadu ke DPR

6.8  DAFTAR ADVERBIA
1.      Adverbia Tunggal
a.       Adverbia Dasar

amat
bahkan
barang
baru
benar
cukup
hampir
hanya
jarang
jua
juga
pasti
patut
perlu
pernah
pula
pun
saja
sangat
segera

justru
kembali
kurang
lagi
lebih
malah(an)
mau
nian
niscaya
paling
sekedar
sekali
selalu
senantiasa
sering
sungguh
tentu
terus





b.       Adverbia Berafiks

(1)   Dasar + -nya


agaknya
akhirnya
biasanya
kiranya
mestinya
nyatanya
pokoknya
rasanya

rupanya
sayangnya
tampaknya
untungnya
khususnya
biasanya
umumnya
artinya


(2)   se- + Dasar + -nya


sebaiknya
sebenarnya
selayaknya

selekasnya
sesungguhnya
seyogianya

c.        Adverbia Kata Ulang

(1)   Reduplikasi Dasar


belum-belum
diam-diam
erat-erat
jarang-jarang
kadang-kadang
kira-kira
lagi-lagi
lekas-lekas
mahal-mahal

malam-malam
manis-manis
mula-mula
pelan-pelan
sering-sering
tebal-tebal
tiba-tiba
tinggi-tinggi


(2)   Reduplikasi Dasar + -an


gelap-gelapan
gila-gilaan
kecil-kecilan
mati-matian
malam-malaman

habis-habisan

2.      Adverbia Gabungan
a.       Berdampingan

acapkali
amat sangat
belum pernah
belum lagi
hanya saja
kadang kala
lagi pula
seringkali


b.   Tidak Berdampingan

belum...lagi
belum....kembali
hampir....kembali
hanya.....saja
hanya....saja
hanya....lagi
sangat....sekali
tidak....saja


3.      Adverbia Konjungtif
(akan) tetapi
bahkan
bahwasanya
biarpun demikian/begitu
dengan demikian
kecuali itu
kemudian
lagi pula
malah(an)
meskipun demikian/begitu
namun
oleh karena itu
oleh sebab itu
sebaliknya
sebelum itu
sekalipun demikian/begitu
selain itu
selanjutnya
sesudah itu
sesungguhnya
setelah itu
sungguhpun
demikian/begitu
tambahan pula
walaupun demikian/begitu

4.      Konjungtor Pembuka Wacana
adapun
akan hal
alkisah
arkian
dalam pada itu
mengenai
sebermula
syahdan


BAB VII
NOMINA, PRONOMINA, DAN NUMERALIA


7.1 NOMINA
7.1.1 Batasan dan Ciri Nomina
Nomina, yang sering juga disebut kata benda, dapat dilihat dari tiga segi, yakni segi semantis, segi sintaktis, dan segi bentuk. Dari segi semantis, kita dapat mengatakan bahwa nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Dengan demikian, kata seperti guru, kucing, meja, dan kebangsaan adalah nomina. Dari segi sintaktisnya, nomina mempunyai ciri-ciri tertentu.
1.      Dalam kalimat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau pelengkap. Kata pemerintah dan perkembangan dalam kalimat Pemerintah akan memantapkan perkembangan adalah nomina. Kata pekerjaan dalam kalimat Ayah mencarikan saya pekerjaan adalah nomina.
2.      Nomina tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak. Kata pengingkarnya ialah bukan. Untuk mengingkarkan kalimat Ayah saya guru harus dipakai bukan: Ayah saya bukan guru.
3.      Nomina umumnya dapat diikuti oleh adjektiva, baik secara langsung maupun dengan dintarai oleh kata yang. Dengan demikian, buku dan rumah adalah nomina karena dapat bergabung menjadi buku baru dan rumah mewah atau buku yang baru dan rumah yang mewah.

7.1.2 Nomina dari Segi Perilaku Semantisnya
Tiap kata dalam bahasa mana pun mengandung fitur-fitur semantik yang secara universal melekat pada kata tersebut. Nomina tidak terkecualikan. Makna yang dalam bahasa Indonesia dinyatakan oleh kata seperti kuda dalam budaya mana pun memiliki fitur-fitur semantik yang universal; misalnya, kakinya yang empat, adanya mata yang jumlahnya ada dua, warna tubuhnya yang bisa hitam, putih, coklat, atau abu-abu.

7.1.3 Nomina dari Segi Perilaku Sintaksisnya
Dengan mempertimbangkan fitur semantiknya, uraian tentang nomina dari segi perilaku sintaksisnya berikuk ini akan dikemukakan berdasarkan posisi atau pemakaiannya pada tataran frasa. Pada frasa nominal, nomina berfungsi sebagai inti atau prosa frasa. Pada frasa nominal, nomina berfungsi sebagai inti atau poros frasa. Sebagai inti frasa, nomina menduduki bagian utama, sedangkan pewatasnya berada di muka atau dibelakangnya. Bila pewatas frasa nomina itu berada di muka, pewatas ini umumnya berupa numeralia atau kata tugas.

7.1.4 Nomina dari Segi Bentuknya
Dilihat dari segi bentuk morfologisnya, nomina terdiri atas dua macam, yakni (1) nomina yang berbentuk kata dasar dan (2) nomina turunan. Penurunan nomina ini dilakukan dengan (a) afiksasi, (b) perulangan, atau (c) pemajemukan.

7.1.4.1 Nomina Dasar
Nomina dasar adalah nomina yang hanya terdiri atas satu morfem. Berikut adalah beberapa contoh nomina dasar yang dibagi menjadi nomina dasar umum dan nomina dasar khusus.
a. Nomina Dasar Umum
gambar             tahun
meja                 pisau
rumah               tongkat
malam              kesatria
minggu  hukum

b. Nomina Dasar Khusus
adik                  bawuk              paman
atas                  farida                pekalongan
batang              selasa               pontianak
bawah              butir                 kamis
dalam               muka                maret





7.1.4.2. Nomina Turunan
Nomina dapat diturunkan melalui afiksasi, perulangan, atu pemajemukan. Afiksasi nomina adalah suatu proses pembentukan nomina dengan menambahkan afiks tertentu pada kata dasar. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam penurunan nomina dengan afiksasi adalah bahwa nomina tersebut memiliki sumber penurunan dan sumber ini belum tentu berupa kata dasar. Nomina turunan seperti kebesaran memang diturunkan dari kata dasar besar sebagai sumbernya, tetapi pembesaran tidak diturunkan dari kata dasar yang sama, besar, tetapi dari verba membesarkan.

7.1.4.3 Afiks dalam Penurunan Nomina
Pada dasarnya ada tiga prefiks dan satu sufiks yang dipakai untuk menurunkan nomina, yaitu prefiks ke-, per-, dan peng- serta sufiks –an.

7.1.4.4 Morfofonemik Afiks Nomina
Karena morfofonemik berkaitan dengan perubahan fonem antara akhir suatu suku dengan permulan dari suku lain yang mengikutinya dan dalam hal penurunan nomina fonem akhir afiks sama dengan fonem akhir afiks verba maka morfofonemik afiks nomina sama dengan fonem afiks verba.

7.1.5 Morfologi dan Semantik Nomina Turunan
Dalam bahasa Indonesia, kata dasar tertentu dapat langsung menjadi nomina dengan memakai afiks tertentu. Kecuali untuk menyatakan makna ‘orang yang atau alat untuk (verba)’, yang umumnya dinyatakan dengan prefiks peng-, masing-masing kata dasar atau sumber mempunyai afiks sendiri-sendiri. Kata seperti menang dan berani dapat dijadikan nomina jika afiks yang dipakai adalah ke-an sehingga tercipta nomina kemenangan dan keberanian.

7.1.5.1 Penurunan Nomina dengan ke-
Nomina yag diturunkan dengan penambahan prefiks ke- tidak banyak dalam bahasa kita. Yang dapat disebutkan ialah ketua, kehendak, kekasih, dan kerangka. Proses ini tidak produktif lagi, tetapi menarik untuk dicatat bahwa ada banyak nama tumbuhan dan binatang yang dimulai dengan ke-, misalnya kelapa, kenari, kemiri, kepiting, kepinding, dan kelelawar.

7.1.5.2 Penurunan Nomina dengan pel-, per-, dan pe-
Nomina yang diturunkan dengan pel- hanya pada terbayas pada satu kata dasar, yakni ajr yang menurunkan nomina pelajar. Sebenarnya nomina yang diturunkan dengan per- itu banyak karena nomina dengan per- berkaitan erat dengan verba yang berafiks ber-. Namun, dalam pertumbuhannya banyak nomina per- yang tidak lagi mempertahankan /r/-nya sehingga nomina tadi muncul hanya dengan pe- saja.

7.1.5.3 Penurunan Nomina dengan peng-
Berbeda dengan prefiks ke-, prefiks peng-, dengan alomorfnya pem-, pen-, peny-, pe-, peng-, dan penge- sangat produktif dalam bahasa kita. Pada umumnya sumber untuk penurunan nomina ini adalah verba atau adjektiva. Arti yang umum bagi nomina dengan peng- ialah :
(a)    orang atau hal yang melakukan perbuatan yang dinyatakan oleh verba
(b)   orang yang perkerjaannya melakukan kegiatan yang dinyatakan oleh verba
(c)    orang yang memiliki sifat yang dinyatakan oleh adjektiva dasarnya
(d)   alat untuk melakukan kegiatan yang dinyatakan oleh verba.


7.1.5.4 Penurunan Nomina dengan –an
Nomina dengan sufiks –an umumnya diturunkan dari sumber verba walaupun kata dasarnya adalah kelas kata lain. Kata asin, misalnya, memang adjektiva, tetapi kata ini dijadikan verba terlebih dahulu, mengasinkan, sebelum dipakai sebagai sumber untuk menurunkan nomina asinan. Arti umum yang dinyatakan oleh nomina dengan –an ialah ‘hasil tindakan, atau sesuatu yang dinyatakan oleh verba’.



7.1.5.5 Penuruna Nomina dengan peng –an
Nomina dengan peng- -an umumnya diturunkan dari verba dengan meng-, yang berstatus transitif. Apabila ada dua verba dengan kata dasar yang sama dan salah satu verba ini berstatus transitif, sedangkan yang lain taktransitif, maka verba transitiflah yang menjadi sumber penurunan nomina dengan peng- -an.

7.1.5.6 Penurunan Nomina dengan per- -an
Nomina dengan per- -an juga diturunkan dari verba, tetapi umumnya dari verba taktransitif dan berawalan ber-

7.1.5.7 Penurunan Nomina dengan ke- -an
Nomina dengan ke- -an diturunkan dari sumber verba, adjektiva, atau nomina. Maka nomina ini bergantung pada sumber yang dipakai. Bila sumbernya verba, maknanya adalah ‘hal atau keadaan yang berhubungan dengan yang dinyatakan verba’.


7.1.5.8 Kontras Antarnomina
Karena kata dasar dapat diberi afiks yang berbeda-beda, banyak nomina dalam bahasa Indonesia yang pemakaiannya perlu benar-benar mempertimbangkan perbedaan bentuk dan maknanya.


7.1.5.9 Nomina dengan Dasar Polimorfemis
Ada dua kelompok kata turunan yang waktu diturunkan menjadi nomina tidak menanggalkan prefiksnya, tetapi menjadi sumber bagi pengimbuhan yang lebih lanjut.


7.1.5.10 Penurunan Nomina dengan –el, -er, -em, dan –in
Penurunan nomina dengan memakai infiks, yakni imbuhan yang disisipkan, tidaklah produktif lagi dalam bahasa Indonesia.
7.1.5.11 Penurunan Nomina dengan –wan/-wati
Nomina dengan afiks –wan/-wati mengacu kepada (a) orang yang ahli dalam bidang tertentu, (b) orang yang mata pencaharian atau pekerjaannya dalam bidang tertentu, (c) orang yang memiliki barang atau sifat khusus. Sufiks –wan mempunyai alomorf –man dan –wati. Pada masa lampau alomorf –man diletakan pada dasar yang berakhiran dengan fonem /i/, sufiks –man tidak produktif lagi; pembentukan nomina baru sering mempergunakan –wan. Alomorf –wati dipakai untuk mengacu pada perempuan.

7.1.5.12 Penurunan Nomina dengan –at/-in dan –a/-i
Dalam bahasa Indonesi ada kelompok kecil nomina yang diturunkan dengan sufiks –at dan –in yang maknanya berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin atau jumlah.

7.1.5.13 Penurunan Nomina dengan –isme, -(is)asi, -logi, dan –tas
Mula-mula nomina dengan sufiks –isme dan –tas dipungut dari bahasa asing. Akan tetapi, lambat laun sufiks itu menjadi produktif sehingga bentuk –isme, -(is)asi, -logi, dianggap layak diterapkan juga pada dasar kata Indonesia.

7.1.5.14 Perulangan Nomina
Perulangan atau reduplikasi adalah proses penurunan kata dengan perulangan, baik secara utuh maupun secara sebagian. Menurut bentuknya, reduplikasi nomina dapat dibagi menjadi empat kelompok (1) perulangan utuh, (2) perulangan salin suara, (3) perulangan sebagian, dan (4) perulangan yang disertai pengafiksan.

7.1.5.15 Pemajemukan Nomina dan Idiom
Krirteria pembedaan antara nomina majemuk dan nomina idiom sama dengan kriteria yang dipakai untuk membedakan verba majemuk dan verba idiom: pertama, makna majemuk masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang digabungkan, sedangkan nomina idiom memunculkan makna baru yang tidak dapat secara langsung ditelusuri dai kata-kata yang digabungkan.
Kriteria kedua adalah bahwa urutan komponennya seolah-olah telah menjadi satu sehingga tidak dapat ditukar tempatnya. Hal ini berbeda dengan frasa nomina yang urutan katanya mengikuti kaidah sintaksis. Disamping itu umumnya nomina majemuk terdiri atas dua kata, sedangkan idiom bisa lebih panjang. Adapun kesamaan antara nomina majemuk dengan idiom, yakni bahwa perwatasan terhadap bentukan ini merujuk kepada seluruh bentuk dan tidak pada kata terakhir saja.


7.1.5.15.1 Nomina Majemuk Dasar
Nomina majemuk dasar adalah nomina majemuk yang komponennya terdiri dari kata dasar.

7.1.5.15.2 Nomina Majemuk Berafiks
Nomina majemuk berafiks adalah nomina majemuk yang salah satu atau kedua komponennya mempunyai afiks.

7.1.5.15.3 Nomina Majemuk dari Bentuk Bebas dan Bentuk Terikat
Nomina majemuk tipe ini terdiri dari dua unsur, salah satu diantaranya adalah unsur terikat, yakni unsur yang tidak dapat berdiri sendiri. Dalam penulisan, nomina majemuk seperti ini dituliskan menjadi satu kata.


7.1.15.4 Nomina Majemuk Setara
Nomina majemuk setara, atau koordinatif, adalah nomina majemuk yang kedua komponennya memiliki kedudukan yang sama.


7.1.15.5 Nomina Majemuk Bertingkat
Nomina majemuk bertingkat adalah nomina majemuk yang salah satu komponennya berfungsi sebagai induk, sedangkan komponen lainnya menjadi pewatas.


7.1.6 Frasa Nominal
Sebuah nomina dapat diperluas ke kiri atau ke kanan. Perluasan ke kiri dilakukan dengan meletakan, misalnya kata penggolongannya tepat di depannya, dan kemudian didahului oleh numeralia. Pewatas yang terletak sebelum inti dinamakan pewatas depan.

7.2 PRONOMINA
7.2.1 Batasan dan Ciri Pronomina
Jika ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan-dalam macam kalimat tertentu-juga predikatnya. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah bahwa acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung kepada siapa yang menjadi pembicara/penulis, siapa yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan. Ada tiga macam pronomina dalam bahasa Indonesia, yakni (1) pronomina persona, (2) pronomina penunjuk, dan (3) pronomina penanya.

7.2.2 Pronomina Persona
Pronomina Persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara ( pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga). Di antara pronomina itu, ada yang mengacu pada jumlah satu atau lebih dari satu. Ada bentuk yang bersifat eksklusif, ada yang bersifat inklusif, dan ada yang bersifat netral.

7.2.2.1 Persona Pertama
Persona pertama tunggal bahasa Indonesia adalah saya, aku, dan daku. Ketiga bentuk itu adalah bentuk baku, tetapi mempunyai tempat pemakaian yang agak berbeda. Saya adalah bentuk yang formal dan umum dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Untuk tulisan formal pada buku nonfiksi dan ujaran seperti pidato, sambutan, dan ceramah bentuk saya banyak dipakai. Meskipun demikian, sebagian orang memakai pula bentuk kami dengan arti saya untuk situasi di atas. Hal ini dimaksudkan untuk tidak terlalu menonjolkan diri.
Persona pertama aku lebih banyak dipakai dalam pembicaraan batin dan dalam situasi yang tidak formal dan yang lebih banyak menunjukan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Oleh karena itu bentuk ini sering ditemukan dalam cerita, puisi, dan percakapan sehari-hari. Persona pertama daku umumnya dipakai dalam karya sastra. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk, yakni –ku dan ku-.

7.2.2.2 Persona Kedua
Personal kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu, anda, dikau, kau- dan –mu.
a.       Persona kedua engkau, kamu, dan –mu dikapai oleh :
1.      Orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama
2.      Orang yang status sosialnya lebih tinggi
3.      Orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial.
b.      Persona kedua anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan, seperti halnya kata you dalam bahasa Inggris. Meskipun kata itu telah banyak dipakai, struktur serta nilai sosial budaya kita masih membatasi pemakaian pronomina itu. Pada saat ini pronomina anda dipakai :
  1. Dalam hubungan yang tak pribadi sehingga anda tidak diarahkan pada satu orang khusus.
  2. Dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab.
c.       Seperti halnya dengan daku, dikau juga dipakai dalam ragam bahasa tertentu, khususnya ragam sastra. Bahkan, dalam ragam sastra itu pun pronomina dikau tidak sering dipakai lagi.
Persona kedua mempunyai bentuk jamak: (1) kalian dan (2) persona kedua ditambah kata sekalian. Persona kedua memiliki variasi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan –mu.
7.2.2.3 Persona Ketiga
Ada dua macam persona ketiga tunggal : (1) ia, dia, atau –nya dan (2) beliau. Meskipun ia dan dia dalam banyak hal berfungsi sama, ada kendala tertentu yang dimiliki oleh masing-masing. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan –nya yang dapat muncul. Demikian pula dalam kaitannya dengan preposisi, dia dan –nya dapat dipakai, tetapi ia tidak.

7.2.2.4 Nomina Penyapa dan Pengacu sebagai Pengganti Pronomina Persona
Karena keanekaragaman dalam bahasa maupun budaya daerah, pemakai bahasa Indonesia memiliki pula bentuk-bentuk lain yang dipakai sebagai penyapa untuk persona kedua dan pengacu untuk persona pertama dan ketiga. Pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi hal iu : (1) letak geografis, (20 bahasa daerah, (3) lingkungan sosial, dan (4) budaya bangsa.
Baik nomina penyapa dan pengacu yang berdasarkan hubungan kekerabatan ataupun yang berdasarkan hubungan jabatan atau hierarki mempunyai bentuk yang lebih pendek. Dalam konteks tertentu bentuk lengkap dan bentuk singkatnya dapat dipakai. Akan tetapi, didalam konteks kalimat yang lain, hanya salah satu yang dapat dipakai dan bukan yang lain. Apabila nama diri mengikuti nomina itu, kedua macam bentuk itu dapat dipakai. Jika nomina tidak diikuti oleh nama diri, bentuk yang pendek tidak dipakai, jikabentuk yang pendek akn dipakai tanpa nama, kalimatnya harus berakhiran dengan sapaan (vokatif).

7.2.3 Pronomina Penunjuk
Pronomina penunjuk dalam bahasa Indonesia ada tiga maca, yaitu (1) Pronomina penunjuk umum, (2) pronomina penunjuk tempat, dan (3) pronomina penunjuk ihwal

7.2.3.1 Pronomina penunjuk  umum
Pronomina penunjuk  umum ialah ini, itu, dan anu. Kata ini mengacu pada acuan yang dekat dengan pembicara/penulis, pada masa yang akan datang, atau pada informasi yang disampaikan. Untuk acuan yang agak jauh dari pembicara/penulis, pada masa lampau, atau pada informasi yang sudah disampaikan, digunakan kata itu. Kata anu dipakai bila seseorang tidak dapat mengingat benar kata apa yang harus dia pakai, padahal ujaran telah terlanjur dimulai. Untuk mengisi kekosongan dalam proses berpikir ini orang memakai pronomina anu. Anu kadang juga dipakai bila si pembicara tidak mau secara eksplisit mengatakan apa yang dia maksud.

7.2.3.2 Pronomina Penunjuk Tempat
Pronomina Penunjuk Tempat dalam bahasa Indonesia ialah sini, situ, atau sana. Titik pangkal perbedaan di antara ketiganya ada pada pembicara: dekat (sini), agak jauh (situ), dan jauh (sana). Karena menunjuk lokasi, pronomina ini sering digunakan dengan preposisi pengacu arah, di/ke/dari, sehingga terdapat di/ke/dari sini, di/ke/dari situ, dan di/ke/dari sana.  Dalam bahasa lisan yang tidak baku, sering situ digunakan sebagai pronomina persona kedua yang sepadan dengan engkau atau kamu. Pronomina penunjuk ihwal dalam bahasa Indonesia ialah begini dan begitu. Titik pangkal perbedaaannya sama dengan penujuk lokasi: dekat (begini), jauh (begitu). Dalam hal ini jauh dekatnya bersifat psikologis. Disamping begini dan begitu, ada pula demikian yang artinya mencakup keduanya.
            Selain itu, kita juga mengenal yakni dan yaitu, yang walaupun tidak dapat disebut pronomina, mengacu baik ke belakang dan ke muka. Peranannya adalah untuk menegaskan bagian sebelumnya dengan bagian yang berikut. Bagian berikut itu merupakan penjelas, uraian, atau perincian bagian sebelum kata yakni dan yaitu.

7.2.3.3 Pronomina Penanya
Pronomina Penanya adalah pronomina yang dipakai sebagai pemarkah pertanyaan. Dari segi  maknanya, yang ditanyakan itu dapat mengenai (a) orang, (b) barang, atau (c) pilihan. Pronomina siapa dipakai  jika yang ditanyakan adalah orang atau nama orang; apa bila barang; dan mana bila suatu pilihan tentang orang atau barang.
Disamping itu ada kata penanya lain, yang meskipun bukan pronomina, akan dibahas pada bagian ini juga. Kata-kata itu mempertanyakan (d) sebab, (e) waktu, (f) tempat, (g) cara, dan (h) jumlah atau urutan.

7.2.3.3.1 Apa dan Siapa
Pronomina penanya apa mempunyai dua peran yang berbeda. Pertama, kata itu semata-mata mengubah kalimat berita menjadi kalimat tanya, partikel –kah dapat pula ditambahkan. Kedua, kata apa juga dapat menggantikan barang atau hal yang ditanyakan.

7.2.3.3.2 Mana
Pronomina mana pada umumnya digunakan untuk menanyakan suatu pilihan tentang orang, barang atau hal. Jika digabung degan preposisi di, ke, dan dari, di mana menanyakan tempat berada, ke mana tempat yang dituju, dan dari mana tempat asal atau tempat yang ditinggalkan.

7.2.3.3.3 Mengapa dan Kenapa
Kata penanya mengapa dan kenapa mempunyai arti yang sama, yakni menanyakan sebab terjadinya sesuatu. kedua bentuk itu sama-sama dipakai, tetapi mengapa lebih formal dari pada kenapa. Dalam bahasa Indonesia baku kata penanya ini diletakan pada awal kalimat, dan urutan kata dalam kalimat mengikuti urutan kalimat berita.

7.2.3.3.4 Kapan dan Bila(mana)
Kata penanya kapan atau bila(mana) menanyakan waktu terjadinya suatu peristiwa. Kata ini ditempatkan pada awal kalimat dan dapat pula diikuti oleh partikel –kah.

7.2.3.3.5 Bagaimana
Kata tanya bagaimana menanyakan keadaan sesuatu atau cara untuk melakukan perbuatan. Kata tanya bagaimana dapat ditempatkan pada awal atau akhir kalimat.

7.2.3.3.6 Berapa
Kata penanya berapa dipakai untuk menanyakan bilangan atau jumlah. Kata ini dapat ditempatkan pada bagian depan, tengah, atau akhir kalimat.

7.2.3.3.7 Gabungan Preposisi Kata Tanya
Disamping kata tanya yang telah dipaparkan sebelumnya, ada pula frasa tanya yang terdiri atas preposisi tertentu dengan apa atau siapa. Dengan demikian, kita dapati frasa dari apa, dari siapa, dengan siapa, untuk apa, untuk siapa, dan sebagainya. Pemakaian frasa tanya seperti ini ditentukan oleh arti masing-masing dan tempatnya dalam kalimat mengikuti kaidah yang telah dipaparkan sebelumnya.

7.2.3.3.8 Kata Saja dan Implikasi Kejamakan
Untuk memberi implikasi kejamakan, kata tanya apa, siapa, di mana, ke mana, dan dari mana diikuti oleh kata saja.

7.2.3.3.9 Kata Saja dan Implikasi Ketidaktentuan
Frasa apa saja, siapa saja, dan di mana saja yang dinyatakan di atas, dapat pula tidak berfungsi sebagai frasa tanya. Hal itu terjadi bila frasa itu dipakai dalam kalimat berita. Maknanya adalah ketidaktentuan.

7.2.3.3.10 Reduplikasi Apa, Siapa dan Mana
Apa, Siapa, dan Mana dapat diulang untuk menyatakan ketidaktentuan: apa-apa, siapa-siapa, mana-mana. Bentuk seperti ini umumnya dipakai dalam kalimat berita yang negatif.
Dimana dan dari mana dapat pula diulang, tetapi kata itu dipakai dengan arti yang sama dengan di mana saja dan dari mana saja. Kata tanya seperti itu dapat dipakai dalam kalimat berita yang tidak negatif.

7.2.4 Frasa Pronominal
Pronomina dapat juga menjadi frasa dengan mengikuti kaidah berikut :
1.      Penambahan numeralia kolektif
2.      Penambahan kata penunjuk
3.      Penambahan kata sendiri
4.      Penambahan klausa dengan yang
5.      Penambahan frasa nominal yang berfungsi apositif

7.3 NUMERALIA
Numeralia atau kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, atau barang) dan konsep. Frasa seperti lima hari, setengah abad, orang ketiga, dan beberapa masalah mengandung numeralia, yakni masing-masing lima, setengah, ketiga, dan beberapa.
Pada dasarnya dalam bahasa Indonesia ada dua macam numeralia : (1) numeralia pokok, yang memberi jawaban atas pertanyaan “berapa?” dan (2) numeralia tingkat yang memberi jawab atas pertanyaan “Yang keberapa?”. Numeralia pokok juga disebut numeralia kardinal, sedangkan numeralia tingkat disebut pula numeralia ordinal. Tiap kelompok itu dapat pula dibagi lagi menjadi subbagian yang lebih kecil, seperti yang akan terlihat di bagian-bagian berikut.

7.3.1 Numeralia Pokok
Numeralia pokok adalah bilangan dasar yang menjadi sumber dari bilangan-bilangan yang lain. Numeralia pokok terbagi menjadi numeralia : (a) pokok tentu, (b) kolektif, (c) distributif, (d) pokok taktentu. Di samping itu, ada (e) numeralia klitika dan (f) numeralia ukuran.

7.3.1.1 Numeralia Pokok Tentu
Numeralia pokok tentu mengacu pada bilangan pokok, yakni :
0
1
2
3
4
-
-
-
-
-
Nol
Satu
Dua
Tiga
Empat

5
6
7
8
9
-
-
-
-
-
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Untuk bilangan di antara sepuluh dan dua puluh dipakai gugus yang berkomponen belas. Bentuk se- dipakai untuk memulai suatu gugus dan artinya adalah ‘satu’.
Kecuali untuk bilangan antara sebelas sampai sembilan belas, gugus di antara 9 sampai 99 berkomponen puluh. Jika sesudah gugus itu ada bilangan yang lebih kecil, kita kembali memakai bilangan pokok.


7.3.1.2 Numeralia Pokok Kolektif
Numeralia pokok kolektif dibentuk dengan prefiks ke- yang ditempatkan di muka nomina yang diterangkan. Jika tidak diikuti oleh nomina, biasanya bentuk itu diulang dan dilengkapi dengan –nya. Numeralia kolektif dapat dibentuk juga dengan cara berikut.
a.       Penambahan prefiks ber- atau kadang-kadang se- pada nomina tertentu setelah numeralia
b.      Penambahan prefiks ber- pada numeralia pokok dan hasilnya diletakan sesudah pronomina persona kamu, kami, kita atau mereka.
c.       Pemakaian numeralia yang berprefiks ber- dan yang diulang.
d.      Pemakaian gugus numeralia yang bersufiks –an


7.3.1.3 Numeralia Pokok Distributif
Numeralia pokok distributif dapat dibentuk dengan cara mengulang kata bilangan. Artinya ialah (1) ‘...demi...’, (2) ‘masing-masing’. Kata (se)tiap-tiap, dan masing-masing termasuk numeralia distributif juga. (se)tiap atau tiap-tiap mempunyai arti yang sangat mirip dengan masing-masing, tetapi kata masing-masing dapat berdiri sendiri tanpa nomina, sedangkan (se) tiap dan tiap-tiap tidak.


7.3.1.4 Numeralia Pokok Taktentu
Numeralia Pokok Taktentu mengacu pada jumlah yang tidak pasti dan sebagian besar numeralia ini tidak dapat menjadi jawaban atas pertanyaan yang memakai kata tanya berapa. Yang termasuk ke dalam numeralia taktentu adalah banyak, berbagai, beberapa, pelbagai, semua, seluruh, segala, dan segenap. Numeralia pokok taktentu ditempatkan di muka nomina yang diterangkannya.

7.3.1.5 Numeralia Pokok Klitika
Numeralia Pokok Klitika dipungut dari bahasa Jawa Kuna, tetapi numeralia itu umumnya berbentuk proklitika. Numeralia macam itu dilekatkan di muka nomina yang bersangkutan.


7.3.1.6 Numeralia Ukuran
Bahasa Indonesia mengenal pula beberapa nomina yang menyatakan ukuran, baik yang berkaitan dengan berat, panjang-pendek, maupun jumlah. Nomina ini dapat didahului oleh numeralia sehingga terciptalah numeralia gabungan.


7.3.2 Numeralia Tingkat
Numeralia pokok dapat diubah menjadi numeralia tingkat. Cara mengubahnya adalah dengan menambahkan ke- di muka bilangan yang bersangkutan. Khusus untuk bilangan satu dipakai pula istilah pertama. Karena numeralia kolektif juga dibentuk dengan ke-, bentuk kedua macam numeralia ini sama. Perbedaannya terletak pada bagaimana masing-masing dipakai. Sebagai numeralia kolektif numeralia ini diletakan di muka nomina yang diterangkan; sebagai numeralia tingkat, ia diletakan di belakang nomina yang diterangkan.


7.3.3 Numeralia Pecahan
Tiap bilangan pokok dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil yang dinamakan numeralia pecahan. Cara membentuk numeralia itu ialah dengan memakai kata per- di antara bilangan pembagi dan penyebut. Dalam bentuk huruf, per- ditempelkan pada bilangan mengikutinya. Dalam bentuk angka, dipakai garis yang memisahkan kedua bilangan itu.


7.3.4 Frasa Numeralia
Umumnya, frasa numeralia dibentuk dengan menambahkan kata penggolong.



7.4 PENGGOLONG NOMINA: ORANG, BUAH, EKOR
Bahasa Indonesia memiliki sekelompok kata yang membagi-bagi nomina maujud dalam kategori tertentu. Manusia misalnya, disertai oleh penggolong orang, binatang oleh penggolong ekor, dan surat oleh penggolong pucuk. Penggolong seperti itu semata-mata didasarkan pada konversi masyarakat yang memakai bahasa itu. Manusia dan binatang mendapat kedudukan khusus dengan adanya penggolong orang dan ekor. Maujud lain disertai penggolong yang berbeda-beda.
Dalam bahasa Indonesia kini telah timbul kecenderungan untuk konteksnya jelas tampak bahwa hal yang dimaksud adalah tunggal. Kedua, dalam pemakaiannya ada kecenderungan untuk memadatkan jumlah penggolong yang banyak menjadi tiga saja, yakni orang, ekor, dan buah. Tampaknya, orang mulai mengelompokan maujud dunia menjadi tiga kategori, yakni manusia, binatang, dan yang bukan manusia maupun bukan binatang.


7.5 KONSEP TUNGGAL, JAMAK, DAN GENERIK
Dalam kebanyakan konsep tunggal, jamak, dan generik itu ada. Dalam bahasa Indonesia konsep tunggal itu ditandai oleh pemakaian kata seperti satu, suatu, atau esa, se-, sedangkan konsep jamak umumnya dinyatakan dengan perulangan. Jika kata merujuk pada konsep ketunggalan itu dipandang sebagai kumpulan, nominanya dapat berbentuk reduplikasi seperti batu-batuan atau diwatasi di depannya dengan kata para atau kaum.
 BAB VIII
KATA TUGAS

8.1 BATASAN DAN CIRI KATA TUGAS
Dalam bab-bab terdahulu kita telah membicarakan empat kelas kata dalam bahasa Indonesia, yakni verba, adjektiva, adverbia, dan nomina. Di samping keempat kelas itu, masih ada kelas atau kata lain yang mempunyai ciri khusus, yakni kata tugas. Kata seperti dan, ke, karena dan dari termasuk dalam kelas kata tugas.

8.2 KLASIFIKASI KATA TUGAS
Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi menjadi lima kelompok: (1) preposisi, (2) konjungtor, (3) interjeksi, (4) artikula, dan (5) partikel penegas.

8.2.1 Preposisi
Jika ditinjau dari perilaku semantisnya, preposisi, yang juga disebut kata depan, menandai berbagai hubungan makna antara konstituen di depan preposisi tersebut dengan konstituen di belakangnya. Dalam frasa pergi ke pasar, misalnya, preposisi ke menyatakan hubungan makna ke arah antara pergi dan pasar.

8.2.1.1 Preposisi Tunggal
 Preposisi Tunggal adalah preposisi yang hanya terdiri atas satu kata. Bentuk preposisi tunggal tersebut dapat berupa (1) kata dasar, misalnya di, ke, dari, dan pada, dan (2) kata berafiks, seperti selama, mengenai, dan sepanjang.

8.2.1.1.1 Preposisi yang Berupa Kata Dasar
Preposisi dalam kelompok ini hanya terdiri atas satu morfem. Berikut ini adalah contohnya :
Akan                            takut akan kegelapan
Antara                          antara anak dan ibu
Bagi                             bagi para mahasiswa
Beberapa bentuk preposisi dalam daftar di atas menunjukan gejala keanggotaan ganda : antara (N), lepas (A), lewat (V), dan sampai (V).
8.2.1.1.2 Preposisi yang Berupa Kata Berafiks
Preposisi dalam kelompok ini dibentuk dengan menambahkan afiks pada bentuk dasar yang termasuk kelas kata verba, adjektiva, atau nomina. Afiksasi dalam pembentukan itu dapat berbentuk penambahan prefiks, sufiks, atau gabungan kedua-duanya.
Preposisi yang berupa kata berafiks :
Bersama                       pergi bersama kakak
Beserta                         ayah beserta ibu

8.2.1.2 Preposisi Gabungan
Preposisi gabungan terdiri atas (1) dua preposisi yang berdampingan, dan (2) dua preposisi yang berkorelasi.

8.2.1.2.1 Preposisi yang Berdampingan
Preposisi gabungan jenis pertama terdiri atas preposisi yang letaknya berurutan. Berikut adalah contoh preposisi yang berdampingan.
Daripada                      menara ini lebih tinggi daripada pohon itu
Kepada                        buku itu diberikan kepada adik

8.2.1.2.2 Preposisi yang Berkorelasi
Preposisi gabungan jenis kedua terdiri atas dua unsur yang dipakai berpasangan, tetapi terpisah oleh kata atau frasa lain.
Antara.....dengan.....                 dari....ke.....
Antara.....dan........                   dari....sampai....
Contoh :
Antara dia dan adiknya ada perbedaan yang mencolok
Kami membanting tulang dari pagi hingga petang.

8.2.1.2.3 Preposisi da Nomina Lokatif
Suatu preposisi juga dapat bergabung dengan dua nomina asalkan nomina yang pertama mempunyai ciri lokatif. Dengan demikian, kita temukan frasa prepsisional, seperti di atas meja, ke dalam rumah, dan dari sekitar kampus.


8.2.1.3 Peran Semantis Preposisi
Pada 8.2.1 di depan telah disinggung bahwa preposisi mempunyai fungsi atau peran untuk menandai berbagai hubungan makna antara konstituen di depan preposisi itu dan konstituen yang di belakangnya. Peran semantis preposisi yang lazim dalam bahasa Indonesia adalah sebagai penanda hubungan: (1) tempat, (2) peruntukan, (3) sebab, (4) kesertaan atau cara, (5) pelaku, (6) waktu, (7) ihwal (peristiwa), dan (8) milik.

8.2.2 Konjungtor
Konjungtor, yang juga dinamakan kata sambung, adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat : kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa. Perhatikan contoh kalimat yang berikut :
a.       Toni dan Ali sedang belajar matematika di kamar
b.      Hidup atau mati kita bergantung pada upaya kita sendiri
Bentuk seperti karena, sejak, dan setelah dapat menghubungkan kata, frasa, atau pun klausa. Dalam hubungannya dengan kata dan frasa, bentuk-bentuk itu bertindak sebagai preposisi Contoh (a); dalam hubungannya dengan klausa, bentuk-bentuk itu bertindak sebagai konjungtor contoh (b);
a.       Dia tidak kuliah karena masalah keuangan
b.      Dia tidak kuliah karena uangnya habis

8.2.2.1 Konjungtor Koordinatif
Konjungtor yang menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama pentingnya, atau memiliki status yang sama seperti dinyatakan di atas dinamakan konjungtor koordinatif. Perhatikan konjungtor koordinatif berikut.
Dan                              penanda hubungan penambahan
Serta                            penanda hubungan pendampingan
Atau                             penanda hubungan pemilihan
Tetapi                           penanda hubungan perlawanan
Melainkan                    penanda hubungan perlawanan
Padahal                        penanda hubungan pertentangan
Sedangkan                   penanda hubungan pertentangan
8.2.2.2 Konjungtor Korelatif
Konjungtor korelatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa yang memiliki status sintaksis yang sama. Konjungtor korelatif terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang dihubungkan. Berikut adalah contohnya.
Baik....maupun....
Tidak hanya....., tetapi juga......
Bukan hanya........., melainkan juga........
Demikian......... sehingga.......

8.2.2.3 Konjungtor Subordinatif
Konjungtor subordinatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua klausa, atau lebih, dan klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama. Salah satu dari klausa itu merupakan anak kalimat. Jika dilihat dari perilaku sintaksis dan semantisnya, konjungtor subordinatif dapat dibagi menjadi tiga belas kelompok. Pembagian ini mempunyai dampak sintaksis apabila kita nanti membicarakan soal klausa dan kalimat pada Bab X. Berikut ini kelompok-kelompok konjungtor subordinat.
1.      Konjungtor Subordinatif Waktu :
a.       Sejak, semenjak, sedari
b.      Sewaktu, ketika, tatkala, sementara, begitu, seraya, selagi, selama, serta, sambil, demi
c.       Setelah, sesudah, sebelum, sehabis, selesai, seusai
d.      Hingga, sampai
2.      Konjungtor Subordinatif Syarat : jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala
3.      Konjungtor Subordinatif Pengandaian : andaikan, seandainya, umpamanya, sekiranya.
4.      Konjungtor Subordinatif Tujuan : agar, supaya, biar
5.      Konjungtor Subordinatif Konsesif : biarpun, meski(pun), walau(pun), sekali-pun, sungguhpun, kendati(pun).
6.      Konjungtor Subordinatif Pembandingan : seakan-anak, seolah-olahm sebagaimana, seperti, sebagai, laksana, ibarat, daripada, alih-alih.
7.      Konjungtor Subordinatif Sebab : sebab, karena, oleh sebab
8.      Konjungtor Subordinatif Hasil : sehingga, sampai(-sampai), maka(nya)
9.      Konjungtor Subordinatif Alat : dengan, tanpa
10.  Konjungtor Subordinatif Cara : dengan, tanpa
11.  Konjungtor Subordinatif Komplementasi : bahwa
12.  Konjungtor Subordinatif Atributif : yang
13.  Konjungtor Subordinatif Perbandingan : sama...dengan, lebih... dari(pada)

8.2.2.4 Konjungtor Antarkalimat
Berbeda dengan konjungtor di atas, konjungtor antarkalimat menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, konjungtor macam itu selalu  memulai suatu kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital. Berikut ini adalah contoh konjungtor antarkalimat :
Biarpun demikian/begitu
Sekalipun demikian/begitu
Walaupun demikian/begitu
Anggota subkelompok (a) hingga (e) menyatakan pertentangan dengan yang dinyatakan pada kalimat sebelumnya. Subkelompok (f) menyatakan kelanjutan dari peristiwa atau keadaan pada kalimat sebelumnya. Subkelompok (g) menyatakan adanya hal, peristiwa, atau keadaan lain di luar dari yang telah dinyatakan sebelumnya. Sebaliknya pada (h) mengacu ke kebalikan dari yang dinyatakan sebelumnya. Sesunguhnya dan bahwasannya pada (i) menyatakan keadaan yang sebenarnya. Malah(an) dan bahkan pada (j) menguatkan keadaan yang dinyatakan sebelimnya, dan anggota kelompok (k) (akan) tetapi dan namin menyatakan pertentangan dengan keadaan sebelumnya. Kecuali itu pada (l) menyatakan keekslusifan dan keinklusifan. Dengan demikian pada (m) menyatakan konsekuensi. Oleh karena/sebab itu pada (n) menyatakan akibat. Sebelum itu pada (o) menyatakan kejadian yang mendahului hal yang dinyatakan sebelumnya. Berikut ini adalah contoh pemakaian beberapa konjungtor di atas.
a.       Kami tidak sependapat dengan dia. Kami tidak akan menghalanginya.
b.      Kami tidak sependapat dengan dia. Biarpun begitu, kami tidak akan menghalanginya
Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa konjungtor antar kalimat menghubungkan dua kalimat yang utuh. Karena kedua kalimat itu terpisah, subjek pada kalimat kedua tetap dipertahankan meskipun subjeknya sama dengan kalimat sebelumnya. Dengan demikian, dalam bahasa baku kalimat seperti nomor (48b) tidak dapat diubah menjadi Kami tidak sependapat dengan dia. Biarpun begitu, tidak akan menghalanginya. Dalam bahasa yang tidak baku dan bahasa lisan penghilangan subjek seperti itu sering dilakukan orang. Perhatikan pula bahwa konjungtor tetapi dalam bahasa baku tidak dipakai untuk memulai suatu kalimat. Sebagai gantinya, dipakailah konjungtor akan tetapi seperti terlihat pada contoh (54b) di atas.
Dari uraian mengenai konjungtor di atas dapat kita tarik simpulan berikut.
1.      Konjungtor koordinatif menggabungkan kata atau klausa yang setara. Kalimat yang dibentuk dengan cara itu dinamakan kalimat majemuk setara.
2.      Konjungtor Korelatif membentuk frasa atau kalimat. Unsur frasa yang dibentuk dengan konjungtor itu memiliki status sintaksis yang sama. Apabila konjungtor itu membentuk kalimat, maka kalimatnya agak rumit dan bervariasi wujudny. Adakalanya terbentuk kalimat majemuk setara, ada pula yang bertingkat. Bahkan, dapat terbentuk pula kalimat yang mempunyai dua subjek dengan satu predikat.
3.      Konjungtor subordinatif membentuk anak kalimat. Penggabungan anak kalimat itu dengan induk kalimatnya menghasilkan kalimat majemuk bertingkat.
4.      Konjungtor antarkalimat merangkaikan dua kalimat, tetapi masing-masing merupakan kalimat sendiri-sendiri.

8.3 INTERJEKSI
Interjeksi atau kata saru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara. Untuk memperkuat rasa hati seperti rasa kagum, sedih, heran, dan jijik, orang memakai kata tertentu di samping kalimat yang mengandung makna pokok yang dimaksud. Untuk menyatakan betapa cantiknya seorang teman yang memakai pakaian baru, misalnya, kita tidak hanya berkata, “Cantik sekali kau malam ini,” tetapi kita awali dengan kata saru aduh yang mengungkapkan perasaan kita. Dengan demikian, kalimat aduh, cantik sekali kau malam ini tidak hanya menyatakan fakta, tetapi juga rasa hati pembicara. Di samping interjeksi yang asli, dalam bahasa Indonesia ada pula interjeksi yang berasal dari bahasa asing. Kedua-duanya biasanya dipakai di awal kalimat dan pada penulisannya diikuti oleh tanda koma.
Berbagai jenis interjeksi dapat dikelompokan menurut perasaan yang diungkapkannya seperti berikut :
1.      Interjeksi Kejijikan : bah, cih, ih, idih
2.      Interjeksi Kekesalan : brengsek, sialan, buset, keparat
3.      Interjeksi Kekaguman dan kepuasan : aduhai, amboi, asyik
4.      Interjeksi Kesyukuran : syukur, alhamdulillah
5.      Interjeksi Harapan : Insya Allah
6.      Interjeksi Keheranan : aduh, aih, ai, lo, duilah, eh, oh, ah
7.      Interjeksi Kekagetan : astaga, astagfirullah, masyaallah
8.      Interjeksi Ajakan : ayo, mari
9.      Interjeksi Panggilan : hai, he, eh, halo
10.  Interjeksi Simpulan : nah

8.4 ARTIKULA
Artikula adalah kata tugas yang membatasi makna nomina. Dalam bahasa Indonesia ada kelompok artikula : (1) yang bersifat gelar, (2) yang mengacu makna kelompok, dan (3) yang menominalkan.

8.4.1 Artikula yang Bersifat Gelar
Artikula yang bersifat gelar pada umumnya bertalian dengan orang atau hal yang dianggap bermartabat. Berikut ini jenis-jenisnya.
a.       Sang :   Untuk manusia atau benda unik dengan maksud ingin meninggikan martabat; kadang-kadang juga dipakai dalam gurauan atau sindiran;
b.      Sri :      untuk laki-laki yang dihormati dan pemakaiannya terbtas pada nama tokoh dalam cerita sastra lama;
c.       Hang :  untuk laki-laki yang dihormati dan pemakaiannya terbatas pada nama tokoh dalam cerita sastra lama
d.      Dang :  untuk wanita yang dihormati dan pemakaiannya terbatas pada nama tokoh dalam cerita sastra lama.
Berikut ini adalah contoh pemakaian artikula di atas.
a.       Sang juara, Ellyas Pical, dapat merobohkan petinju Australia
b.      Sang Merah Putih berkibar dengan jaya di seluruh tanah air
c.       Sang suami mengapa tidak ikut?
d.      Karena pertanyaan siswa tadi rupanya sang guru menjadi marah
e.       Baru-baru ini Sri Paus berkunjung ke Australia
f.        Kedatangan Baginda dan Sri Ratu disambut dengan meriah
g.       Segera Hang Tuah pergi merantau
h.       Dang Merdu adalah tokoh terkenal dalam hikayat melayu

8.4.2 Artikula yang Mengacu ke Makna Kelompok
Artikula yang mengacu ke makna kelompok atau makna kolektif adalah para. Karena artikula itu mengisyaratkan ketaktunggalan, maka nomina yang diiringinya tidak dinyatakan dalam bentuk kata ulang. Jadi, untuk menyatakan kelompok guru sebagau kesatuan bentuk yang dipakai adalah para guru dan bukan *para guru-guru.

8.4.3 Artikula yang Menominalkan
Di samping artikula yang menyatakan gelar dan kelompok, ada pula artikula yang menominalkan. Artikula si yang menominalkan dapat mengacu ke makna tunggal atau generik, bergantung pada konteks kalimatnya. Frasa si miskin dalam kalimat Tak sampai hatiku melihat si miskin mengambil makanan dari tumpukan sampah itu mengacu ke satu orang yang kebetulan miskin. Akan tetapi, dalam kalimat Dalam masa krisis si miskinlah yang selalu menderita frasa si miskin mengacu ke pengertian generik, yakni kaum miskin di dunia ini.

8.5 PARTIKEL PENEGAS
Kategori partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diiringinya. Ada empat macam partikel penegas : -kah, -lah, -tah, dan pun. Tiga yang pertama berupa klitika, sedangkan yang keempat tidak.

8.5.1 Partikel –kah
Partikel –kah yang berbentuk klitika dan bersifat manasuka dapat menegaskan kalimat interogatif. Berikut ini adalah kaidah pemakaiannya.
1.      Jika dipakai dalam kalimat deklaratif, -kah mengubah kalimat tersebut menjadi kalimat interogatif.
Contoh :
1. Diakah yang akan datang ?
2. Hari inikah pekerjaan itu harus selesai ?
2.      Jika dalam kalimat interogatif sudah ada kata tanya seperti apa, di mana, dan bagaimana, maka –kah bersifat manasuka. Pemakaian –kah menjadikan kalimatnya lebih formal dan sedikit lebih halus.
3.      Jika dalam kalimat tidak ada kata tanya tetapi intonasinya adalah intonasi interogatif, maka –kah akan memperjelas kalimat itu sebagai kalimat interogatif. Kadang-kadang urutan katanya dibalik.

8.5.2 Partikel –lah
Partikel –lah yang juga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat imperatif atau kalimat deklaratif. Berikut ini adalah kaidah pemakaiannya.
1.      Dalam kalimat imperatif, -lah dipakai untuk sedikit menghaluskan nada perintahnya
-         Pergilah sekarang, sebelum hujan turun !
-         Bawalah mobil ini ke bengkel besok pagi !
-         Kalau anda mau, ambillah satu atau dua buah !
2.      Dalam kalimat deklaratif, -lah dipakau untuk memberikan ketegasan yang sedikit keras.
-         Dari ceritamu, jelaslah kamu yang salah.
-         Ambil berapa sajalah yang kamu perlukan
-         Inilah gerakan pembaruan
-         Dialah yang menggugat soal itu.
8.5.4 Partikel –tah
Partikel –tah yang juga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat interogatif, tetapi si penanya sebenarnya tidak mengharapkan jawaban. Ia seolah-olah hanya bertanya pada diri sendiri karena keheranan atau kesangsiannya. Partikel –tah banyak dipakai dalam sastra lama, tetapi tidak banyak dipakai lagi sekarang.

8.5.3 Partikel pun
Partikel pun hanya dipakai dalam kalimat deklaratif dan dalam bentuk tulisan dipisahkan dari kata di mukanya. Kaidah pemakaiannya adalah sebagai berikut.
1.      Pun dipakai untuk mengeraskan arti kata yang diiringinya.
2.      Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering pula dipakai bersama –tah untuk menandakan perbuatan atau proses mulai berlaku atau terjadi.

 BAB IX
KALIMAT

9.1 BATASAN DAN CIRI-CIRI KALIMAT
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi atau proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan ataupun berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!); sementara itu, di dalamnya disertakan pula berbagai tanda baca seperti koma (,), titik dua (:), tanda pisah (-), dan spasi. Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru sepadan dengan intonasi akhir, sedangkan tanda baca lain sepadan dengan jeda. Spasi yang mengikuti tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru melambangkan kesenyapan.

9.2 BAGIAN-BAGIAN KALIMAT
Dilihat dari segi bentuknya, kalimat dapat dirumuskan sebagai konstruksi sintaksis terbesar yang terdiri atas dua kata atau lebih. Hubungan struktural antara kata dan kata, atau kelompok kata dan kelompok kata lain, berbeda-beda. Sementara itu, kedudukan tiap kata atau kelompok kata dalam kalimat itu berbeda-beda pula. Ada kata atau kelompok kata yang dapat dihilangkan dengan menghasilkan bentuk yang tetap berupa kalimat seperti pada (3b), dan ada pula yang tidak seperti pada (4b). Antara “kalimat” dan “kata” terdapat dua satuan sintaksis antara, yaitu “klausa” dan “frasa”. Klausa merupakan satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata, atau lebih, yang mengandung unsur prediksi sedangkan frasa adalah satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak mengandung unsur prediksi. Perlu dicatat bahwa di bawah kata masih ada satu satuan tata bahasa, yaitu morfem (lihat Bab II).



9.2.1 Kalimat dan Klausa
Kecuali dalam hal intonasi akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat yang telah disinggung pada 9.1, kalimat dalam banyak hal tidak berbeda dari klausa. Baik kalimat maupun klausa merupakan konstruksi sintaksis yang mengandung unsur prediksi. Dilihat dari segi struktur internalnya, kalimat dan klausa keduanya terdiri atas unsur predikat dan subjek dengan atau tanpa objek, pelengkap, atau keterangan.

9.2.2 Konstituen Kalimat
Seperti telah disinggung di atas, kalimat merupakan konstruksi sintaksis terbesar yang terdiri atas dua kata atau lebih. Ini berarti bahwa kalimat merupakan satuan terbesar untuk pemerian sintaksis dan kata yang terkecil. Walaupun kalimat dapat diuraikan menjadi untaian kata, penguraian itu tidak langsung dari kalimat ke kata. Di antara kalimat dan kata biasanya ada satuan-antara yang berupa kelompok kata. Baik kalimat maupun kelompok kata yang menjadi unsur kalimat dapat dipandang sebagai suatu konstruksi. Satuan-satuan yang membentuk suatu konstruksi disebut konstutuen konstruksi tersebut.

9.2.3 Unsur Wajib dan Unsur Takwajib
Seperti telah disinggung pada 9.2.1, kalimat minimal terdiri atas unsur predikat dan unsur subjek. Kedua unsur kalimat itu merupakan unsur yang kehadirannya selalu wajib. Disamping kedua unsur itu, dalam suatu kalimat kadang-kadang ada kata atau kelompok kata yang dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi status bagian yang tersisa sebagai kalimat, tetapi ada pula yang tidak. Hal ini akan lebih jelas kalau kita memperhatikan contoh berikut :
Barangkali mereka menghadiri pertemuan itu kemarin.
Kalimat itu terdiri atas lima konstituen : (i) barangkali, (ii) mereka, (iii) menghadiri, (iv) pertemuan itu, dan (v) kemarin sore. Dari kelima konstituen itu, hanya barangkali dan kemarin sore yang dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi status bagian yang tersisa sebagai kalimat, sedangkan yang lain tidak.


9.2.4 Keserasian Unsur-Unsur Kalimat
Penggabungan dua kata, atau lebih, dalam satu kalimat menuntut adanya keserasian di antara unsur-unsur tersebut baik dari segi makna maupun dari segi bentuk. Berdasarkan hal itu, keserasian unsur-unsur kalimat berikut ini akan dikemukakan dari kedua segi tersebut, yakni keserasian makna dan keserasian bentuk.

9.2.4.1 Keserasian Makna
Pada dasarnya orang membuat kalimat berdasarkan pengetahuannay tentang dunia di sekelilingnya sehingga mustahillah rasanya kita temukan kalimat seperti
a.       *batu itu memukul anjing kami
b.      *kuda kami merokok lima butir jeruk
Keanehan bentuk (16a) timbul karena verba memukul menuntut nomina orang sebagai pelakunya. Kenyataan bahwa batu itu bukan orang yang menyebabkan untaian (16a) itu terasa aneh. Keanehan bentuk (16b) juga timbul karena verba merokok menuntut orang sebagai pelakunya serta nomina berwujud batangan sebagai objeknya. Kenyataan bahwa kuda kami bukan orang dan jeruk tidak berwujud batangan mengakibatkan untaian pada (16b) itu terasa aneh.
Keanehan lain yang dapat timbul adalah keanehan yang dilandasi oleh faktor budaya suatu bangsa sehingga yang aneh bagi suatu bangsa belum tentu aneh bagi bangsa lain. Perhatikan contoh berikut.
a.       *bu fatimah menceraikan suaminya
b.      *tuti akan mengawini johan minggu depan
Verba menceraikan dan mengawini dalam bahasa dan budaya Indonesia umumnya menuntut pelaku seoran pria. Seorang pria dapat menceraikan atau mengawini seorang wanita, tetapi seorang wanita umumnya hanya dapat minta cerai dari suaminya atau kawin dengan seorang pria, dan bukan menceraikan atau mengawini seorang pria. Kedua kalimat di atas terasa kurang tepat untuk dipakai karena alasan budaya kita. Seandainya kalimat seperti itu dipakai, maka akan muncullah citra yang khusus mengenai bu fatimah dan suaminya serta tuti dan johan.
Perlu ditegaskan bahwa kaidah bahasa tidak sama dengan kaidah susunan kenyataan menurut pengalaman dan pengertian kita. Keluwesan kaidah bahasa justru memungkinkan pembahasan apa saja termasuk keadaan dan peristiwa yang serba aneh.

9.2.4.2 Keserasian Bentuk
Selain tuntutan akan adanya makna, bahasa Indonesia, seperti halnya dengan kebanyakan bahasa di dunia ini, menuntut adanya keserasian bentuk di antara unsur-unsur kalimat, khususnya antara nomina dan pronomina dan, dalam batas tertentu, antara nomina dan verba.

9.3 STRUKTUR KALIMAT DASAR
Yang dimaksud dengan kalimat dasar adalah kalimat yang (i) terdiri atas satu klausa, (ii) unsur-unsurnya lengkap, (iii) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum, dan (iv) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Dengan kata lain, kalimat dasar di sini identik dengan kalimat tunggal deklaratif afirmatif yang urutan unsur-unsurnya paling lazim.
Dalam pemerian kalimat, perlu dibedakan kategori sintaksis, fungsi sintaksis, dan peran semantis unsur-unsur kalimat. Setiap bentuk kata, atau frasa, yang menjadi konstituen kalimat termasuk dalam kategori kata atau frasa tertentu dan masing-masing mempunyai fungsi sintaksis serta peran semantis tertentu pula.

9.3.1 Bentuk, Kategori, Fungsi, dan Peran
Pada 2.3.1 telah disinggung bahwa untuk kata terdapat, antara lain, kategori seperti berikut.
a.       Verba (V)

b.      Preposisi (Prep)
Adjektiva (Adj)
Adverbia (Adv)
Nomina (N)

Konjungtor (Konj)
Interjeksi (Interj)
Partikel (Part)
Sejalan dengan kategori kata itu, terdapat kategori frasa yang dibedakan berdasarkan unsur utamanya seperti pada (25a, 25b). Perlu dicatat bahwa istilah “frasa konjungtor” atau “frasa partikel” tidak dikenal karena kombinasi konjungtor atau partikel dengan kategori lain, kalau ada, sangat terbatas.
a.       Frasa (FN)

b.      Frasa (FPrep)
Frasa Verbal (FV)
Frasa Adjektival (FAdj)
Frasa Adverbial (FAdv)


Kata seperti meja, pergi, sakit, sering, dan kepada masing-masing termasuk dalam kategori N, V, Adj, Adv, dan Prep; dan frasa meja itu, sudah pergi, agak sakit, sering sekali, dan kepada saya masing-masing tergolong FN, FV, Fadj, Fadv, dan Fprep.

read more...