Untuk menjadi bahan pertimbangan buat diri kita yang akan mengarungi keluarga,. baik sudah berkeluarga demi terciptanya mendidik seorang anak yang baik dan sholeh. mungkin kita bisa jumpai masih banyak anak..anak indonesia yang pendidikan dari orang tuanya yang masih kurang,. sehingga banyak anak di bawah umur telah banyak melakukan hal yang patal dalam hidupnya.
dibawah ini 5 kesalah orang tua mendidik anak. moga jadi bahan masukan bagi kita semua, khusunya buat diri saya.
1) Menyikapi Perilaku Anak Hanya Dengan Satu Pola
Menerapkan hanya satu pola pendidikan dalam menyikapi perilaku anak, padahal ia sudah melakukan perubahan, adalah sangat merusak. Satu pola pendidikan yang dimaksud adalah seperti orang tua yang selalu melontarkan kata-kata keras, padahal perilaku si anak sudah berubah menjadi baik. Mungkin juga sebaliknya, orang tua tengah melakukan keburukan, semisal menyakiti temannya atau saudaranya.
Jika seorang anak mendapatkan perlakuan dengan pola kasih sayang secara berlebihanm ia akan tumbuh sebagai orang yang tidak memiliki kepedulian. Ia tidak akan mau berusaha untuk mengubah perilaku dan memperbaiki kesalahannya karena apa pun yang ia lakukan selalu mendapat simpati dan sanjungan. Namun, apabila seorang anak hanya mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya, padahal ia sudah berusaha untuk lebih baik, ia akan berputus asa dari perubahan. Sikap itu akan merangsangnya untuk mengurungkan diri dari mengubah sikap dan bersikeras dalam kesalahan, selama ia tidak pernah mendapatkan penghargaan dan dorongan atas segala upaya baiknya untuk memperbaiki diri. Ia juga akan merasa diintimidasi dan dizhalimi. Oleh karena itu, akan hancurlah fondasi yang kelak menjadi pijakan bagi nilai-nilai dan prinsip-prinsip luhur. Ini terjadi karena ia menemukan sebuah model buruk berupa kezhaliman pada orang terdekatnya, dalam hal ini orang tuanya. Jika ini terjadi, lantas dari mana dan bagaimana ia belajar tentang keadilan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang menjadi pijakan Islam ?
Sebegitu jauh pengaruh sikap yang tampak sepele dan tidak punya arti itu. Sikap seperti itulah yang menyebabkan orang semacam Umar bin Khattab mempunyai karakter keras pada masa jahilliah. Al-Khattab, ayahnya, adalah orang yang kasar dan keras serta mengabaikan Umar. Akibatnya, muncullah pada diri Umar kekasaran dan kekerasan. Sebelum ia berislam, sikap kasar dan kerasnya itu menjadi masalah bagi kaum Muslimin. Namun, sikap keras kepala dan kasar Umar itu kemudian menjadi proporsional dan lurus akibat sentuhan iman.
2) Enggan menerapkan disiplin
Anak membutuhkan disiplin sebagaimana ia membutuh- kan kasih sayang. Yang kita maksud dengan menerapkan disiplin adalah mengajarkan anak agar mampu mengendali-kan diri dan berprilaku baik. Ia membutuhkan keduanya. Jika mendapatkan disiplin dan kasih sayang, ia belajar menghormati diri sendiri dan sekaligus mengendalikannya.
Kita mengajarkan disiplin kepada anak-anak kita karena kita mencintai mereka. Kita juga menginginkan agar mereka memiliki rasa tanggung jawab serta memiliki kemampuan yang mumpuni saat mereka dewasa. Akan tetapi, sebagian orang tua tidak berusaha menerapkan disiplin kepada anak-anaknya dan ragu-ragu dalam mengambil sikap terhadap-nya. Para orang tua tidak dapat berharap bahwa mereka akan mengubah perilaku anaknya kecuali jika ada motivasi pada diri anak untuk melakukannya. Ada beberapa ke-mungkinan penyebab orang tua enggan menerapkan disiplin pada anak, antara lain sebagai berikut :
1. Orang tua berputus asa dan kehilangan harapan dalam mengubah perilaku anak.
2. Orang tua tidak mampu menentang ‘keburukan anak karena tidak mampu mereka takut kehilangan cinta. Ia takut mendengar kalimat-kalimat seperti ini dari anaknya, “Aku membencimu, “Kamu ayah yang me-nakutkan, “Aku ingin punya ibu baru selain kamu”, dan sebagainya.
3. Lemahnya tekad, vitalitas, dan kemampuan orang yang diakibatkan oleh suatu penyakit membuat mereka jauh dari situasi dan kehidupan anak-anak. Mereka juga tidak kuasa menghalangi perbuatan sia-sia mereka.
4. Orang tua menahan diri dari melakukan counter terhadap keburukan anak karena si anak suka marah dan bersikap aktif.
5. Terjadi ketidakkompakan antara ayah dan ibu tentang tujuan pendidikan. Satu sama lain sering saling mem-bantah tentang cara melakukan pengarahan kepada anaknya.
6. Orang tua sibuk dengan masalah suami istri sehingga melupakan pengawasan perilaku anak.
3) Tidak berupaya mengetahui motif anak berbuat salah
Ada beberapa motif dan alasan yang mendorong anak melakukan kesalahan. Namun, karena banyak orang tua tidak mengetahui dan tidak memahaminya, akhirnya merena menyikapi kesalahan-kesalahan itu dengan cara yang tidak tepat. Diantara alsasan-alasan itu adalah sebagai berikut :
A. Tidak Mampu Menerapkan Disiplin dan Tidak Mau Mem-perbaiki Diri
Salah seorang anak dilahirkan, ia tidak memiliki pengetahuan tentang tata krama masyarakat dan tidak memiliki kemampuan untuk berpikir secara lurus. Semua itu justru akan diperolehnya dengan cara perlah-an dan melelahkan. Oleh karena itu, pada saat seorang anak belajar hidup di dunia orang dewasa maka ia pasti akan terjatuh pada beberapa kesalahan dan ia tidak mampu memperbaiki dirinya sendiri. Alasannya, mempelajari sesuatu yang dituntut oleh masyarakat secara umum dan oleh orang tuanya secara khusus me-rupakan hal yang tidak mudah baginya.
Anak kecil cenderung untuk menyerang orang lain, banyak tuntutan, dan egois. Semua itu memang senjata yang ia miliki. Misalnya, saat menginginkan sesuatu, ia langsung saja menyambarnya karena memang ia belum belajar meminta izin dengan sopan santun sebelumnya. Perilaku seperti itu adalah hal yang dialami pada anak, tetapi bukan perilaku yang baik dan mungkin akan membuat orang tuanya takut atau malu. Ketika satu ke-mauannya tidak dipenuhi, ia akan tampak kecewa, lalu menangis sambil berteriak-teriak. Sekali lagi, alasannya karena ia belum pernah belajar cara lain untuk menya-takan perasaannya.
Sikap mementingkan diri sendiri pada anak juga merupakan hal yang alami, sama halnya dengan bernapas. Namun, manakala ia merasakan adanya simpati dan cinta serta orang tuanya memberikan apa yang dibutuhkannya, ia akan tumbuh dalam keadaan memiliki rasa percaya kepada orang-orang yang meme-liharanya. Ia akan tahu bahwa ia tidak perlu banyak berteriak-teriak dan menangis saat menginginkan sesuatu. Secara perlahan-lahan, ia akan belajar untuk mengalah dari banyak tuntutan atau menangguhkan-nya. bukan itu saja ia juga akan tumbuh dewasa dalam keadaan penuh percaya diri dan yakin bahwa orang-orang di sekitarnya mencintainya.
Tentu saja seperti yang sudah kita ungkapkan di atas bahwa perilaku-perilaku seperti mementingkan diri sendiri dan berteriak-teriak itu tidak mungkin kita sebut sebagai perilaku yang baik. Sikap tersebut hanya termasuk perilaku yang alami. Hal itu muncul karena alasan yang sama : belum mampu mendisiplinkan diri.
Tidak ada alasan untuk merasa malu atau takut dengan adanya faktor-faktor instingtif semisal kecenderungan untuk menyerang atau mementingkan diri sendiri yang ada pada anak. Keberadaannya pada setiap orang, hingga batas tertentu, merupakan hal yang wajar. Lebih jauh lagi, dorongan-dorongan seperti itu bisa dimanfaatkan jika terus dipantau dan diarahkan dengan baik.
Contoh sikap yang lain adalah rasa cemburu anak laki-laki atau anak perempuan terhadap adiknya yang baru lahir. Hal itu muncul secara alami dari sikap mementingkan diri sendiri. Dalam pandangan mereka, bisa saja perhatian si ibu tiba-tiba tertuju hanya kepada si kecil sehingga mereka merasa akan kehilangan perhatian. Oleh karena itu, biasanya muncullah ketidak-sukaan kepada adiknya. Hal itu bisa didemonstrasikan-nya setiap kali si ibu keluar dari kamarnya.
Dalam kondisi seperti itu, kita bisa memberi tahu mereka bahwa kita memahami perasaan mereka. Namun dalam waktu yang bersamaan kita juga harus membuat mereka mengerti bahwa kita tidak memper-kenankan mereka menyakiti si kecil. Menyampaikan informasi kepada mereka bahwa perasaan itu bukanlah kesalahan mereka, bisa membantu mereka untuk me-ngendalikan diri ketimbang kita memperlakukan mereka dengan kasar dan keras.
B. Tidak Mengerti dan Tidak Memiliki Pemahaman yang Benar
Boleh jadi kesalahan anak yang tampak tidak sengaja itu diakibatkan oleh ketidaktahuan atau krena ia tidak mendapatkan peringatan secara berulang-ulang sehingga ua mengerti apa yang kita katakan. Ketika anak kita mengambil manisan temannya, karena tidak mengerti tentang keharusan memiliki hak milik orang lain, misalnya, kita tidak cukup hanya memperingatkan-nya hanya satu kali saja dengan mengatakan bahwa mainan itu bukan miliknya, melainkan milik temannya. Peringatan itu harus dilakukan berulang kali sehingga ia memahami arti menghormati hak milik orang lain.
C. Tidak Mampu Memenuhi Keinginan secara Tepat
Diantara hal yang menarik pada anak adalah rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal-hal baru. Ini sebe-narnya menguntungkan karena ia sedang belajar menjadi peneliti secara naluriah. Hal itu merupakan salah satu jalan untuk mengajarinya. Namun, rasa ingin tahu itu kadang-kadang mengantarkannya untuk mela-kukan kesalahan. Bahkan sifat itu sering membuat se-orang anak berada pada posisi sulit. Ia seperti kata pepatah Inggris “Kecenderungan ingin tahu bisa jadi membunuh kucing.”
Sebagai contoh, Maryam yang berusia lima tahun ingin mengetahui apa yang ada di dalam pesawat radio. Setelah ia berhasil membukanya, datanglah ayahnya. Sang ayah lalu membentaknya setelah tahu bahwa radio itu kini tidak berfungsi.
Yang dilakukan Maryam bukanlah kesalahan yang disengaja. Oleh karena itu, kecaman ayahnya boleh jadi membunuh semangat penelitian dan rasa ingin tahunya. Agar hal seperti itu tidak terjadi, setiap orang tua harus menampung keingintahuan anaknya.
D. Mencari Perhatian
Boleh jadi keingina anak untuk mencari perhatian menjadi faktor penyebab ia melakukan kesalahan. Anak kecil yang berteriak-teriak saat ibunya menghidangkan makanan kepada para tamu atau anak yang membuat kerincuhan saat orang tua mendengarkan radio, kedua-nya mungkin tahu bahwa ia akan dihukum. Namun, sekalipun mendapatkan hukuman, ia telah berhasil mendapatkan hukuman, ia telah berhasil mendapatkan perhatian. Dalam perasaannya hal itu lebih baik dari pada ia dicuekin.
Anak-anak memiliki banyak tingkah yang tidak me-nyenangkan dengan tujuan agar menarik perhatian orang tuanya. Oleh karena itu kita wajib memberikan perhatian yang memang menjadi hak setiap anak. Tentu kita tidak selalu bisa memuaskan kebutuhan itu pada saat ia membutuhkannya. Walaupun demikian, kita harus tetap dapat meyakinkan bahwa di dalam hati kita ada cinta yang memadai untuk setiap anggota keluarga, termasuk di dalamnya cinta untuk anak-anak itu sendiri. Berikut ini sebuah contoh bagaimana anak meminta perhatian.
Salim terjatuh saat bermain dengan saudaranya, Abdullah. Kepalanya mengalami luka ringan. Kemudian, datanglah ibunya untuk meredakannya. Namun, tiba-tiba saja Abdullah menjatuhkan dirinya di tanah. Ia bertujuan untuk menarik perhatian ibunya terhadap dirinya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan.
Dari contoh diatas hendaknya kita mencoba me-nyisihkan lebih banyak waktu untuk anak seperti itu. Tersenyumlah kepadanya setiap kali kita menjumpai-nya. bicaralah kepadanya dengan penuh kasih sayang. Buatlah ia mengetahui bahwa anda mencintainya dan bahwa anda sangat peduli dengan apa yang ia kerjakan. Jika ia telah merasa diperhatikan maka tingkah-tingkah aneh menarik perhatian pasti sedikit demi sedikit akan berkurang.
E. Merasa Jenuh dan Kesal
Anak yang menganggur biasanya cenderung me-rusak. Oleh sebab itu, banyak anak yang melakukan perilaku salah gara-gara be-te (bosan total) atau kesal. Jika tidak menemukan sesuatu yang lebih menarik untuk dilakukan, mungkin saja ia teribat dalam pertengkaran dengan saudara-saudaranya. Mungkin juga ia menghancurkan perabotan, kamar tidur atau mainannya. Cara yang palinmg baik menumbuhkan ke-cenderungan kepada hal-hal yang bergunadalam menyibukkan waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat.
F. Ingin Mandiri dan Bebas
Tidak mungkin setiap kesalahan anak disebabkan oleh ketidakpahaman orang tua terhadap sikap si anak. Sesungguhnya, ada sebagian kesalahan yang disebab-kan oleh usia si anak sendiri yang telah melewati sepuluh tahun. Ia mengetahui bahwa ia bisa mandiri dan sudah saatnya bebas dalam menyampaikan pendapat.
Oleh karena itu, sebagian kesalahan mereka tidak lebih dari sekadar buah dari apa yang gagal untuk mandiri dan bebas. Mereka benci bila selalu disuruh melakukan sesuatu yang memang harus mereja lakukan. Mereka tidak suka, misalnya, bila kita mengatakan secara berulang-ulang, “Kamu tidak boleh melakukan itu” atau “Seharusnya kamu melakukan itu”. Dalam kasus seperti itu mereka tidak berbeda dengan orang-orang dewasa. Oleh sebab itu, kita harus memotovasi mereka untuk maju dan memuji jerih payah mereka, betapa pun kecilnya.
G. Orang Tua tidak Menerima Anak Seutuhnya
Ketidakmampuan orang tua menerima segala kelebihan dan kekurangannya akan menambah perilaku si anak semakin buruk. Orang tua seperti itu akan mengulang-ulang ungkapan, “Saya tidak mengerti apa yang kamu lakukan itu. Adikmu itu tidak mengganggu. Mengapa kamu tidak bisa tenang dan bersikap sopan?” Sebagian orang tua tidak punya bahasa lain kepada anaknya selain mengkritik dan mengomel tanpa memedulikan perasaan si anak, jika si anak itu me-lakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Si orang tua menyangka bahwa cara mereka adalah satu-satunya cara yang paling baik.
Hendaknya setiap orang tua menerima anaknya seperti apa adanya dan memperlakukan mereka sesuai dengan kemampuan mereka. Para orang tua juga hendaknya sabar dalam menghadapi kesalahan anak-anak mereka dan memberikan empati kepada mereka untuk membantu mereka memperbaiki perilakunya.
H. Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Psikologis Anak
Sebagaimana halnya orang dewasa, anak-anak me-miliki kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi. Jika tidak
Sebagaimana halnya orang dewasa, anak-anak memiliki kebutuhan psikologis yang harus di penuhi. Jika tidak, bukan mustahil ia melakukan perilaku-perilaku salah secara sengaja.
Abraham Maslow teah membuat hirarki kebutuhan dasar manusia dalam bentuk piramida. Hirarki itu berangkat dari tingkat urgensi pemenuhan kebutuhan setiap level, yang setiap tingkat kebutuhan pada satu level tidak akan muncul sebelum kebutuhan pada level dibawahnya terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, Kebutuhan Fisiologis. Ini merupakan kebutuhan paling dasar. Menurut Maslow, posisinnya berada pada dasar piramida. Contoh dari kebutuhan ini adalah bernapas, makan, minum, istirahat, dan lain-lain. Setelah kebutuhan ini terpuaskan sampai batas tertentu, kebutuhan lain yang berada pada peringkat berikutnya muncul. Maslow menyebutkan bahwa jika kebutuhan dasar ini belum terpenuhi pada seorang individu maka kita tidak dapat menentukan motivasi-motivasi sebenarnya dari perilaku sosial yang dilakukannya.
Kedua, Kebutuhan akan Rasa Aman. Ini tampak jelas pada anak-anak. Mereka selalu berusaha menghindari posisi-posisi bahaya yang diketahuinya, dengan segala bentuknya. Mereka juga biasanya menghindari kondisi-kondisi yang tidak diakrabinya atau situasi yang asing bagi dirinya. Secara umum, kebutuhan akan rasa aman ini tampak pada saat-saat sakit atau saat ada peristiwa-peristiwa yang dahsyat, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa.
Ketiga, Kebutuhan akan Cinta dan Afiliasi. Kebutuhan ini tampak dalam bentuk keinginan anak untuk selalu menjalin hubungan saling mengasihi dengan orang lain. Kuatnya kebutuhan ini tampak juga pada seorang anak saat ia tidak memiliki teman. Hal itu merupakan perasaan alami pada orang-orang yang secara psikologis dinilai normal.
Keempat, Kebutuhan akan Rasa Dihargai. Pemberangusan kebutuhan ini boleh jadi menumbuhkan sikap rendah diri, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan munculnya perilaku yang tidak normal.
Kelima, Kebutuhan akan Aktualisasi Diri. Kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk mengukuhkan eksistensi diri di tengah anak-anak lain atau di dalam keluarga. Artinya, ia mempunyai kecenderungan agar dirinya dan segala kelebihannya bisa dilihat dan diperhatikan oleh orang lain.
4) Membandingkan seorang anak dengan anak lainnya secara tidak adil
Merangsang anak agar memerhatikan anak lain adalah perlu dan dapat berguna untuk membangun kepribadian anak. Hal tersebut harus dilakukan dengan dua tujuan.
Pertama, untuk mengingatkan anak bahwa ada orang yang lebih baik akhlaknya, perilakunya, dan capaiannya darinya serta untuk menarik perhatiannya tentang sifat-sifat istimewa yang harus dimilikinya. Itu dimaksudkan agar sedapat mungkin ia terdorong untuk meniru.
Kedua, menanamkan rasa percaya diri dan menyadari nilai dirinya saat membandingkan dirinya dengan orang yang lebih rendah prestasinya. Ia juga diharapkan mengetahui apa yang menjadi kelebihannya dan capaian-capaian yang bisa diwujudkannya.
Membandingkn dengan cara seperti itu adalah perlu. Namun, jika membandingkan anak dengan anak lainnya, baik saudaranya sendiri maupu anak orang lain, secara tidak adil dan tidak tepat, dapat menghancurkan konsep diri si anak dan menangkap segala perbandingan itu secara negatif. Perbandingan seperti itu akan dimaknainya sebagai pelecehan terhadap kemampuan, cercaan, dn sesuatu yang menyakiti perasaan si anak karena tidak dapat melakukan apa yang dapat dilakukan anak lain. Cara itu juga akan membuat si anak patah semangat dan mungkin akan memaksanya mengucilkan diri dari masyarakat. Ia sendiri akan kehilangan semangat belajar.
Oleh karena itu, kita dilarang membuat anak memandang dirinya sebagai sosok yang buruk dan membenci diri sendiri serta tidak boleh membebani anak dengan hal-hal diluar kemampuannya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (Q.S. Al Baqarah, 2 : 286).
5) Bersikap negatif dan salah pada anak
Sebenarnya, ada banyak kategori penyikapan negatif dan salah yang sering ditampilkan oleh orang tua. Berikut ini adalah beberapa diantaranya.
A. Sikap Otoriter
Sikap otoriter adalah sikap selalu menolak keinginan-keingina anak dan menghalanginya dari melakukan perbuatan tertentu atau dari mewujudkan hasrat tertentu. Sikap otoriter juga berarti sikap kers dalam memperlakukan anak dan membebani mereka dengan tugas-tugas yang berada di luar kemampuannya. Hal itu biasanya dilakukan dengan cara memerintah, melarang, tidak percaya, mencerca, dan menghukum.
Pola-pola pendekatan otoriter banyak sekali. Misalnya, sikap kaku dan keras seorang ayah, ibu, atau keduanya dalam menerapkan banyak aturan kepada anak-anaknya. Orang ua semacam ini biasanya banyak mengumbar nasihat kepada anaknya secara terus menerus. Mereka sering menganggap besar kesalahan sepele yang dilakukan oleh anaknya. Mereka sering mengkritik secara peds dan menyakitkan.
Contoh lain dari sikp otoriter adalah mengatur segala sesuatu hingga menentukan cara makan, cara tidur, car belajar, corak pakaian, jenis mainan, dan bentuk kegiatan anak-anak . hal itu akan merampas kepribadian dan menghalangi mereka memperoleh hak-hak mereka dalam menentukan apa yang mereka sukai dan mereka inginkan. Bisa juga orang tua menggunakan hukuman fisik atau hukuman psikologis dalam memotivasi aktivitas sosial anak-anak mereka. Si orang tua menyangka bahwa cara itu merupakan cara paling baik dan paling sukses dalam mendidik. Oleh karena itu, kita akan menemukan orang tua tipe ini bersikap sangat kasar dan keras terhadap anak-nak untuk menghadapi kehidupan yang sulit dn karenanya harus memperlakukan mereka secar keras dan kasar. Jika salah, mereka harus dihukum secara keras. Mereka harus merasakan sakit, baik fisik maupun psikologis, agar mereka menyadari dosa karena melakukan perbuatan yang tidak disukai. Para orang tua it menghinakan dan melecehkan mereka, betapa pun mereka telah melakukan sesuatu yang baik dan terpuji. Para orang tua itu lupa bahwa pendidikan dan pelatihan anak masa awal bertumpu pada “percobaan dan kesalahan” (trial and error) sehingga mereka juga memerlukan sanjungan dan pujian, bukannya pukulan, kekerasan dan kekasaran. Hal-hal itu akan mengakibatkan beberapa hal buruk sebagai berikut :
1. Sikap tertutup sehingga mereka mengisolasi diri dari pertarungan-pertarungan kehidupan sosial;
2. Perasaan redah diri, selalu ragu, dan tidak percy diri;
3. Kecenderungan menghancurkan milik orang lain dan fasilitas umum;
4. Menempuh cara permusuhan, anarkisme, dan amarah untuk mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap sikap otoriter dan kebencian yang dialami dirinya sendiri dengan ketakutan.
Para orang tua anak pun lupa bahwa terlalu banyak menakut-nakuti dan mengancam anak untuk segala persoalan, baik besar maupun kecil, merupakan faktor terbesar untuk menumbangkan kepribadian anak-anaknya. Si anak akan menjadi orang yang takut menerima tanggung jawab, takut terhadap kekuasaan takut oleh orang dewasa tanpa sebab yang jelas, dan takut menghadapi kritik. Rasa takutnya itu kemudian akan berubah menjadi keresahan berkepanjangan yang sangat berpengaruh terhadap hidupnya. Ia selalu dihantui rasa takut gagal dalam setiap perbuatan yang ia lakukan. Oleh sebab itu, ia akan merasa tidak berdaya dalam menghadapi hiruk pikuk kehidupan.
Telah terbukti bahwa hukuman fisik yang menyakitkan dan sikap otoriter dalam mendidik anak tidaklah berguna. Jauh lebih berguna jika si anak melakukan hal buruk. Kedua sikap terakhir itu memberikan motivasi kepada aak untuk melakukan perbuatan baik dan untuk berkomitmen kepadanya. Sementara itu, hukuman tidaklah mencegah anak dari perbuatan salah. Hal itu hanya akan menjadikannya berusaha untuk berkreasi dan menyembunyikannya, mengarang cerita dusta, dan menyangkal saat kasusnya terungkap.







0 komentar: on "KESALAHAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK"
Posting Komentar