Klik Banner Di bawah Ini Jika Anda ingin Mendapatakan Penhasilan Tambahn Lewat internet

Photobucket payableptr.com Photobucket

Ikuti Kata Hati.....!!

Sabtu, 05 Juni 2010

Dilema

D i l e m a
       
Hari yang melelahkan. Aku merebahkan badanku di atas sofa. Jam tujuh dua puluh. Aku baru ingat SMS Ray siang tadi.
        “Aku ninggalin surat di email-mu, Yas. Aku tunggu balasanmu. Penting.”
        Ada apa? Tidak biasanya Ray minta balasan segera. Dengan badan masih letih, aku beranjak ke kamar mandi. Mungkin setelah mandi bisa agak segar. Benar juga. Air hangat yang mengalir dari pemanas air instan membasahi sekujur badan membuat kepenatan sedikit berkurang. Selesai mandi dan sholat isya, kubuka e-mail Rayhan. Ray bercerita banyak tentang perkebunan yang sedang panen raya. Bla...bla...bla... lalu :
        “Aku minta kamu mulai memikirkan pernikahan kita, Yas. Bulan depan sudah genap setahun kamu bekerja. Dulu kita sepakat akan membicarakan pernikahan setelah kamu menikmati masa kerja setahun. Menurut aku, sekaranglah saat yang paling tepat. Pekerjaan sendiri sudah mulai mapan. Bapak dan ibu sering menanyakannya. Aku tunggu jawabanmu, Yasmin.”
        Aku tercenung. Menikah? Artinya aku harus mengakhiri pekerjaanku di Singapura dan mengikuti Ray. Aku ingat email-nya beberapa bulan lalu ketika baru saja ditempatkan di Banyuwangi.
        “Aku suka suasana di perkebunan, Yas. Persis seperti yang selama ini aku inginkan. Damai, tenag, guyub. Udaranya nggak usah di tanya deh, nggak ada polusi. Kalau nanti kamu ikut aku di sini, dijamin migrenmu nggak bakalan kambuh. Hanya saja aku rada khawatir, Yas. Kamu yang selama ini bekerja di negara modern, apa bakal kerasan di tempat sepi seperti ini? Tapi aku harap ikatan suci di antara kita akan meniadakan permasalahan-permasalahan tersebut. Aku yakin kesukaanmu berlama-lama memandang sungai Singapura di waktu malam akan tergantikan dengan kehijauan perkebunan kopi di sini.”
        Tidak Ray, sedikit pun aku tidak ragu untuk hidup bersamamu di mana pun. Masalahnya adalah...aku sudah terlanjur menyatu dengan pekerjaanku sekarang, dengan irama dan sistem kerja di Singapura, dengan lingkungan tempat aku tinggal. Aku menarik napas panjang. Haruskah aku mengakhiri semuanya sekarang? Aku belum bisa menjawab surat Ray saat itu juga. Aku perlu waktu.
        Rayhan...aku mengenalnya sebagai mahasiswa bermata teduh yang aktif di kegiatan mesjid kampus. Kami berteman baik. Aku sering mencarinya kala memerlukan teman diskusi. Pandangan-pandangannya cerdas, lugas dan konsisten. Dengan penuh kesabaran ia mendengarkan penjelasanku yang meluap-luap, kemudian berusaha memberikan solusi yang berimbang.
        Suatu ketika Ray mengajak berbicara. “Yasmin, aku pengin membicarakan sesuatu denganmu.” Ray agak gelisah, tidak seperti biasa.
        “Ada apa, Ray?” tanyaku.
        “Begini, Yas... selama ini kita sering berdiskusi, bertukar pikiran. Aku ingin mempererat silaturahmi dengan komitmen yang lebih serius.” Ray memandang ke arahku. “Singkatnya yas, aku pengin melamarmu jadi isteriku. Em...tentu saja tidak sekarang, tapi nanti kalau kita sudah sama-sama siap.”
        Aku kehilangan kata. Sama sekali tidak kuduga. Hingga seminggu kemudian, aku gelisah bukan main. Mbak Eka, kakak kelas yang sama-sama tinggal di asrama putri memberikan pandangan ketika aku memintanya.
        “Yas.. menurutku Ray cowok yang baik dan sabar. Aku rasa cocok dengan sifatmu yang energik dan terkadang emosional,” Mbak Eka mengayakannya sambil tersenyum. Bagaimanapun juga, tiga tahun lebih bersama dalam satu asrama membuat kami saling tahu sifat masing-masing.
        Obrolan dengan Mbak Eka membuat aku mampu mengambil keputusan itu, menerima lamaran Ray. Walau kupikir rada gila juga. Belum kenal beneran tapi sudah berani menerima lamaran. Seminggu aku memikirkannya dan seminggu itu pula wajah Ray dengan mata teduhnya terus mengikuti.
        Beberapa kali Ray mengungkapkan impiannya untuk tinggal di desa atau kota kecil, dan menanyakan pendapatku. Aku pun menceritakan impianku. Bahwa aku ingin membangun karier di kota metropolitan, meneruskan S2 dan berkeliling dunia bila ada kesempatan. Namun di luar dugaan, Ray hanya tersenyum mendengarnya.
        “Aku sudah menduga sebelumnya Yas, sifatmu yang energik dan selalu ingin selangkah lebih maju,” katanya. “Kalau memang keinginan itu sangat kuat di hatimu, lakukan saja. Aku yakin kamu akan berhasil. Tapi...aku harap kamu masih ingat komitmen kita...” Dan pembicaraan sore itu berakhir dengan kesepakatan bahwa aku akan berkarier selama setahun dan Ray akan menunggu di perkebunan. Setelah itu kami akan membicarakan pernikahan.
*********
        Jam berdentang tiga kali. Mataku belum juga dapat lelap. Bulan depan tepat setahun aku bekerja. Ray menagih janji. Dan aku belum juga siap untuk meninggalkan karier yang tengah menanjak. Apa aku minta penangguhan setahun lagi? Apakah aku yakin setahun lagi bakal siap? Untuk sebuah perkawinan, aku siap. Tapi untuk meninggalkan pekerjaan? Mendapatkan posisiku sekarang ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat aku orang asing.
Wajah Ray lagi-lagi muncul. Dengan bijak ia membiarkan aku membuktikan kemampuanku selama setahun. Haruskah aku mengecewakan dia?
        “Hei...dari tadi ngelamun aja.”
        Kaget juga aku melihat Rahman yng tiba-tiba muncul. “Mikirin Apa?” tanyanya sambil menggeser kursi dan duduk didepanku.
        “Rahman...gimana menurut kamu kalau aku pulang ke Indonesia dan nggak kembali lagi?”
        “Maksudmu..kamu mau keluar?”
        Aku menunduk sambil mengaduk-aduk mangkuk es di depanku. “Aku mau nikah.”
        Rahman tidak memberi komentar apa pun. Ketika akan beranjak pergi meninggalkan foodcourt tempat kami makan, dia berkata, “Yasmin...kamu punya hak terhadap diri kamu sendiri. Kalau kamu sudah ingin menikah, ya nikah aja. Tapi kalau kamu masih ingin bekerja di sini, lakukan itu. Masing-masing ada konsekuensinya. Kamu sudah berjuang keras sampai pada posisimu sekarang.” Benar. Pekerjaanku ini aku raih melalui jalan panjang. Ray harusnya memahami itu. Aku pun menyampaikan hal itu pada Ray.
        “Oke. Yas... kalau memang itu keputusanmu, aku coba memahami,” kata-kata itu diucapkan Ray dengan nada yang tak pernah kudengar selama ini. Aku tidak mampu membayangkan ekspresinya. Bahkan dia tidak menanyakan berapa lama aku menunda... terbersit rasa bersalah di hati, tapi kata-kata Rahman kembali terngiang di telinga, aku punya hak atas diriku sendiri.
*********
        East Coast Park sedang dimanjakan sinar matahari pagi. Akhir minggu kegiatan outdoor di pantai timur ini begitu ramai.
        Aku merasa ada sakasme dalam ucapannya dan itu membuatku tersinggung.
        “Rahman, please... kamu nggak usah nanya-nanya lagi !”
        “Aku nggak akan berhenti bertanya selama wajah kamu masih seperti ini. Aku khawatir tiap kali kamu seperti ini.” Nada sinisnya berubah melembut.
        Aku menarik napas panjang.
        “Yasmin, kalau boleh aku minta, jangan pergi. Tetaplah di sini,” kalimat itu meluncur dari bibir Rahman dengan nada sedikit bergetar dan diucapkan dalam bahasa melayu, bukan bahasa inggris yang biasa kami pakai berkomunikasi. Selama berteman, jarang sekali kami berbicara bahasa melayu.
        Aku hentakan langkah, mengamati wajah laki-laki yang berdiri disampingku. Ada apa dengan dia?
        “Yasmin...aku ingin kamu tetap tinggal di sini...,” ucapnya lagi, masih dengan cara yang sama. Detik itu juga aku baru sadar apa maksud ucapannya.
        Aku mencoba lepas dari bayang-bayang Rayhan,mencoba meraih hakku terhadap diri sendiri. Lebih dari itu, ada Rahman yang tidak pernah membiarkan aku sendirian. Kelebat bayangan Ray menggerakan jariku untuk menulis.
        “Ray, maafkan aku kalau sudah membuat kamu kecewa. Aku baru sadar Ray, inilah duniaku, hidupku. Aku sangat menikmati hari-hariku di sini. Aku harap kamu bisa memahaminya.”
        Email itu tidak terjawab. Aku tahu Ray pasti kecewa. Lagi-lagi yang dikatakan Rahman terngiang... aku punya hak terhadap diriku sendiri ! Dua-tiga kali aku mengirim email, sekedar menanyakan kabarnya. Rayhan tidak menjawab sepatahpun, tiga bulan kemudian, aku mendapatkan mendapatkan balasan e-mail.
        “Yasmin, setelah sekian lama aku merenung, baru saat ini aku menjawab suratmu. Kalau kamu ingin tahu apa yang kurasakan dan kuinginkan, jawabanku tetap sama seperti setahun lalu. Aku tetap menginginkan dirimu sebagai pendampingku, sebagai ibu dari anak-anakku.
        Sifatmu yang selalu ingin maju, memang sulit dibendung. Tapi Yasmin, apa kamu lupa pada kodrat wanita ? Yang punya tugas mulia menjadi ibu dan istri? Mungkin kamu akan menjawab, Toh menjadi ibu dan istri bisa juga dilakukan sambil bekerja di Singapura. Benar. Tapi itu artinya bukan sebagai istriku, dan bukan pula ibu dari anakku. Karena aku hidup di sini, di sebuah desa kecil di Banyuwangi. Aku serahkan sepenuhnya pada dirimu, Yasmin. Apa pun pilihanmu, aku akan menerima dengan ikhlas.”
        Aku terhenyak membaca email Rayhan itu. Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku menjadi keblinger seperti ini, hanya memikirkan kesenangan ragawi, kepuasan berkarier? Email Rayhan seolah membangunkan aku dari tidur ! aku segera menekan nomor di pesawat telepon supaya tersambung dengan Rayhan. Aku tidak ingin menunda sedetik pun. Setelah beberapa kali terdengar nada sambung. Suara Ray terdengar kaget.
        “Ada apa Yas? Kamu baik-baik saja kan?”
        Subhaballah... dia yang sudah aku kecewakan masih juga mengkhawatirkan aku?! Tangisku tidak terbendung lagi.
        “Ray aku akan pulang secepatnya. Kita akan ketemu di Jakarta ya?” hanya itu yang sanggup aku ucapkan.
***********
        Rahman terkejut mendengar keputusanku.
        “Apa keputusanmu itu sudah nggak berubah lagi, Yas?”
        “Ya. Kali ini aku sudah yakin, Rahman?”
        “Lalu... hubungan kita?”
        “Maafkan aku. Aku sudah melakukan kesalahan. Memanfaatkan kamu dalam kebimbanganku. Kamu toh nggak pernah serius dengan hubungan kita kan, Rahman?”
        Rahman mengerenyitkan alis sambil menatapku tajam.
        “kenapa kamu beranggapan seperti itu, Yas?”
        “Rahman, tiga bulan kita dekat. Sama sekali tidak pernah kita bicara tentang pernikahan.” Terdengar tawa sinis.
        “Apakah harus selalu diakhiri dengan pernikahan?”
        Tawa sinis terdengar lagi. Aku pun tersadar hubungan kami hanya main-main.
**********************
        Pemilik mata teduh itu kini duduk didepanku. Semua masih tetap sama. Sederhana, santun, sabar. Kenapa aku demikian tega membuatnya kecewa? Kenapa aku biarkan diriku melanggar janji, padahal itu adalah amanah yang harus dipenuhi? Perlahan air mataku meleleh.
        “Ray... maafkan aku.”
        Ray tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Aku juga bersalah Yas, membiarkan kamu terbang sendirian, tanpa perlindungan. Sementara kamu sendiri mungkin nggak sadar bahaya yang mengintai.”
        Hanya Ray yang punya pemahaman itu. Di balik keinginanku yang kuat untuk selalu melangkah maju, sebenarnya ada kesembronoan, grusa-grusu dan kadang naif.
        Bayangan Rahman tiba-tiba melintas. Aku harus jujur pada Ray. Aku tidak ingin membuat mata teduh itu kecewa untuk kedua kali.
        “Ray... ada yang ingin kusampaikan dan mungkin akan menyakiti hatimu.”
        “Apa Yas?”
        “Tiga bulan kemarin ini ada laki-laki yang dekat dengan aku...”
        Ray memotong, “Apakah dia seorang yang istimewa?” aku menggeleng tanpa ragu.”Sama sekali tidak. Aku tergoda, terbawa keadan.”
        Ray menarik napas panjang, “Aku tidak peduli selama dia bukan seorang yang mengisi hatimu.”
        “Jadi kamu maafkan aku..? masih tetap ingin melanjutkan hubungan kita?” Ray tertawa.
        “Tentu saja, Yasmin. Kalau tidak buat apa jauh-jauh dari Banyuwangi aku datang menemuimu?”
        Ah.. dia sangat bijak. Aku ingin sekali memeluknya.



Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Dilema"